Rabu, 09 Mei 2012

ILMU - Perhiasan Tak Ternilai Bagi Muslimah-

 Bismillaahirramaanirrahiim..


Seorang yang mendambakan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat harus memiliki pedoman dalam menapaki kehidupannya di dunia. Dan pedoman hidup seorang hamba semua telah diatur dalam syariat Islam.

Seorang yang sukses bukanlah orang yang hidup dengan bersemboyan ‘semau gue’ dengan mengikuti hawa nafsunya, tapi orang yang sukses adalah orang yang mengambil Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dengan pemahaman As Salafus Shalih sebagai pengikat aturan hidupnya. Petunjuk Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ini tidak mungkin dapat diketahui tanpa menuntut ilmu syar’i. Karena itulah, Allah dan Rasul-Nya memerintahkan setiap Muslim dan Muslimah yang baligh dan berakal (mukallaf) untuk menuntut ilmu.

Dalam sebuah hadits dari Anas bin Malik  radhiallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Menuntut ilmu wajib bagi setiap Muslim.” (HR. Ahmad dengan sanad hasan. Lihat kitab Jami’ Bayan Al ‘Ilmi wa Fadllihi karya Ibnu ‘Abdil Bar, tahqiq Abi Al Asybal Az Zuhri, yang membahas panjang lebar tentang derajat hadits ini)

Imam Ahmad rahimahullah mengatakan bahwa ilmu yang wajib dituntut di sini adalah ilmu yang dapat menegakkan agama seseorang, seperti dalam perkara shalatnya, puasanya, dan semisalnya. Dan segala sesuatu yang wajib diamalkan manusia maka wajib pula mengilmuinya, seperti pokok-pokok keimanan, syariat Islam, perkara-perkara haram yang harus dijauhi, perkara muamalah, dan segala yang dapat menyempurnakan kewajibannya.

Sebagai hamba Allah, seorang Muslimah wajib mengenal Rabbnya yang meliputi pengetahuan terhadap nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagaimana diberitakan dalam Al Qur’an dan hadits-hadits yang shahih. Selain itu, ia harus mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala bersendiri dalam mencipta, mengatur, memiliki, dan memberi rezeki. Ia pun wajib menunaikan hak-hak Allah, yaitu beribadah hanya kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun, sebagaimana tujuan penciptaannya. Allah berfirman :

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” (Adz Dzariyat : 56)

Seseorang tidak akan berada di atas hakikat agamanya sebelum ia berilmu atau mengenal Allah Ta’ala. Pengenalan ini tidak akan terjadi kecuali dengan menuntut ilmu dien (agama).

Di samping mengenal Allah, seorang Muslimah juga wajib mengenal Nabi-nya, yaitu Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, karena beliau merupakan perantara antara Allah dengan manusia dalam penyampaian risalah-Nya. Sesuai dengan makna persaksiannya bahwa Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam adalah hamba dan Rasul-Nya, maka ia wajib mentaati segala yang beliau perintahkan, membenarkan segala yang beliau khabarkan, menjauhi apa yang beliau larang dan tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan apa yang beliau syariatkan. Hal ini sesuai dengan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala :

“Apa yang diberikan Rasul kepada kalian maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagi kalian maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukumannya.” (Al Hasyr : 7)

Ayat ini merupakan kaidah umum yang agung dan jelas tentang wajibnya seluruh kaum Muslimin mengambil sunnah yang telah tetap dan hadits-hadits shahih dalam aqidah, ibadah, muamalah, adab, akhlak, seluruhnya. Hal ini tidak akan diketahui kecuali dengan menuntut ilmu terlebih dahulu.

Selain mengenal Allah dan Rasul-Nya, seorang Muslimah juga wajib mengenal agama Islam sebagai agama yang dianutnya, dengan memperhatikan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah yang shahihah, sehingga ia memiliki pendirian kokoh, tidak mudah terombang-ambing. Dan agar ia berada di atas cahaya, bukti, dan kejelasan dari agamanya.

Inilah masalah pertama yang disebutkan oleh Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam bukunya Al Ushuluts Tsalatsah, yaitu berilmu sebelum beramal dan berdakwah.

Seorang Muslimah juga wajib membekali dirinya dengan ilmu sebelum memasuki jenjang pernikahan, sehingga ia dapat menunaikan kewajibannya sesuai dengan tuntunan syariat.

Sebagai isteri, seorang Muslimah dituntut agar menjadi isteri yang shalihah, sehingga ia dapat menjadi perhiasan dunia yang paling baik, bukan justru menjadi fitnah atau musuh bagi suaminya. Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash radhiallahu 'anhuma berkata, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang shalihah.” (HR. Muslim)

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman tentang sifat-sifat wanita shalihah :

“… maka wanita shalihah, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena itu Allah telah memelihara mereka.” (An Nisa’ : 34)

Maksud ayat ini diterangkan oleh Asy Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairi dan Asy Syaikh Salim Al Hilali rahimahumullah bahwa wanita yang shalihah adalah yang menunaikan hak-hak Allah Subhanahu wa Ta'ala dan mentaati-Nya, mentaati Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, dan menunaikan hak-hak suaminya dengan mentaatinya dan menghormatinya, serta menjaga harta suami, anak-anak mereka, dan kehormatannya tatkala suaminya tidak ada.

Untuk menjadi wanita shalihah yang seperti ini, seorang Muslimah membutuhkan ilmu.

Sebagai seorang ibu, ia mempunyai tanggung jawab mendidik anak-anaknya agar menjadi anak-anak yang shalih dan shalihah. Di bawah kepemimpinan suami, isteri adalah penjaga rumah tangga suami dan anak-anaknya, sebagaimana dalam hadits dari Ibnu ‘Umar radhiallahu 'anhuma dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bahwasanya beliau bersabda :

“Laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya, wanita adalah pemimpin dalam rumah tangga suaminya dan anak-anaknya, maka setiap kalian adalah pemimpin, akan ditanya tentang yang dipimpinnya.” (Muttafaqun ‘Alaihi)

Hasil didikan seorang ibu terhadap anak-anaknya inilah yang termasuk perkara yang akan ditanyakan oleh Allah kelak di hari kiamat. Karena itulah Muslimah harus menuntut ilmu syar’i sebagai bekal mendidik anak-anak sehingga fitrah mereka tetap terjaga dan menjadi penyejuk hati karena keshalihan mereka.

Di tempat lain, bila seorang Muslimah belum menikah, maka sebagai anak ia wajib taat pada orang tuanya selama tidak memerintahkan kepada maksiat. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

“Kami wasiatkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang tuanya… .” (Al Ankabut : 8)

Dalam hadits dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash radhiallahu 'anhuma dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda :

“Dosa-dosa besar ialah menyekutukan Allah, durhaka pada orang tua, membunuh jiwa (tanpa hak), dan sumpah palsu.” (HR. Bukhari)

Untuk dapat berbuat baik dan menunaikan hak-hak orang tua dengan benar, seorang Muslimah tidak bisa lepas dari ilmu.

Seluruh kewajiban ini harus dapat ditunaikan dengan dasar ilmu. Karena jika tidak, akan terjadi berbagai kesalahan dan kerusakan. Maka tidak heran, bila para Muslimah yang bodoh terhadap agamanya melakukan berbagai praktek kesyirikan dan kebid’ahan. Akibat kebodohannya pula, banyak Muslimah yang durhaka pada suami atau orang tuanya. Atau terjadi berbagai kesalahan dalam mendidik anak sehingga muncullah generasi yang berakhlak buruk, bahkan bisa jadi durhaka pada orang tua yang telah merawat dan membesarkannya. Karena kebodohannya pula, banyak Muslimah yang tidak mengetahui bagaimana ia harus menjaga kehormatannya, sehingga ia menjadi fitnah dan terjerumus dalam perzinahan dan berbagai kemaksiatan. Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dari yang demikian itu.

Usamah bin Zaid radhiallahu 'anhuma berkata, telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam :

“Aku berdiri di muka pintu Syurga, maka aku dapatkan mayoritas penghuninya adalah orang-orang miskin, sedang orang-orang kaya masih tertahan oleh perhitungan kekayaannya. Dan ahli neraka telah diperintahkan masuk neraka. Dan ketika aku berdiri di dekat pintu neraka, maka aku dapatkan mayoritas penghuninya adalah para wanita.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hanya dengan menuntut ilmu, seorang Muslimah akan mengetahui jalan yang selamat. Kaum Muslimah masa kini akan menjadi baik bila mereka mau mencontoh para Muslimah generasi terdahulu (generasi salafuna shalih), mereka sangat memperhatikan dan bersemangat dalam menuntut ilmu.

Dalam sebuah hadits dari Abi Sa’id Al Khudri  radhiallahu 'anhu, ia berkata : “Seorang wanita mendatangi Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan berkata :

‘Wahai Rasulullah! Kaum lelaki telah membawa haditsmu, maka jadikanlah bagi kami satu harimu yang kami datang pada hari tersebut agar engkau mengajarkan pada kami apa yang telah diajarkan Allah kepadamu.’ Maka beliau bersabda : ‘Berkumpullah pada hari ini dan ini di tempat ini.’ Maka mereka pun berkumpul, lalu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mendatangi mereka dan mengajarkan apa yang telah diajarkan Allah kepada beliau.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam pun sangat bersemangat mengajar para shahabiyah, sampai-sampai beliau menyuruh wanita yang haid, baligh, dan merdeka untuk menyaksikan kumpulan ilmu dan kebaikan. Bahkan beliau  Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam memutuskan udzur wanita yang tidak memiliki hijab, sebagaimana yang disebutkan dalam Shahihain dari Ummu ‘Athiyah Al Anshariyah radhiallahu 'anha, ia berkata :  “Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menyuruh kami mengeluarkan wanita yang merdeka, yang haid, dan yang dipingit untuk keluar pada hari Iedul Fithri dan Adha. Adapun yang haid memisahkan diri dari tempat shalat, dan mereka pun menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum Muslimin. Aku berkata : ‘Wahai Rasulullah! Salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab.’ Beliau bersabda : ’Hendaklah saudaranya meminjamkan jilbabnya.’ “

Oleh karena itulah, kita dapatkan dalam sejarah Islam, di antara mereka ada yang menjadi ahli fiqih, ahli tafsir, sastrawati, dan ahli dalam seluruh bidang ilmu dan bahasa. Sebagai contoh, Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiallahu 'anha yang dididik dalam madrasah Rasulullah  Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam sehingga beliau menjadi wanita yang berilmu dan shalihah.

Imam Az Zuhri rahimahullah berkata : ”Seandainya ilmu ‘Aisyah dikumpulkan dan dibandingkan dengan ilmu seluruh wanita, maka ilmu ‘Aisyah lebih afdhal.”

Bahkan ‘Aisyah merupakan guru dari beberapa shahabat, ia menjadi bahan rujukan mereka dalam masalah hadits, sunnah, dan fiqih. Urwah bin Az Zubair berkata : “Aku tidak melihat orang yang lebih mengetahui ilmu fiqih, pengobatan, dan syi’ir ketimbang ‘Aisyah.”

Para wanita dari kalangan tabi’in juga berdatangan ke rumah ‘Aisyah untuk belajar, di antara muridnya adalah Amrah bintu ‘Abdurrahman bin Sa’ad bin Zurarah. Ibnu Hibban berkata : “Dia adalah orang yang paling mengetahui hadits-haditsnya ‘Aisyah.”

Di antara deretan nama wanita generasi terdahulu yang cemerlang dalam ilmu adalah Hafshah bintu Sirin yang masyhur dengan ibadahnya, kefaqihannya, bacaan Al Qur’annya, dan hadits-haditsnya. Begitu pula Ummu Darda Ash Shuqra Hujaimah, ia seorang yang faqih, ’alimah, banyak meriwayatkan hadits, cerdas, masyhur dengan keilmuan, amalan, dan zuhudnya.

Demikianlah --wahai saudariku Muslimah-- mereka adalah contoh terbaik bagi kita dan telah terbukti bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala mengangkat derajat orang-orang yang berilmu sebagaimana firman-Nya :

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al Mujadilah : 11)

Semoga Allah memudahkan jalan bagi kita untuk menuntut ilmu dan memberikan ilmu yang bermanfaat. Amin. Wallahu A’lam Bis Shawab.

Maraji’ :

1.        Al Qur’anul Karim
2.         Inayatun Nisa’ bil Hadits An Nabawi. Abu ‘Ubaidah Masyhur bin Hasan Alu Salman.
3.        Nisa’ Haula Ar Rasul. Mahmud Mahdi Al Istambuli dan Musthafa Abu Nashr Asy Syalbi.
4.         Riyadlus Shalihin. Imam Nawawi.
5.         Bahjatun Nadhirin. Salim bin ‘Ied Al Hilali.
6.        Aisarut Tafasir. Abu Bakar Jabir Al Jazairi.
7.         Hasyiyah Ats Tsalatsah Al Ushul. Muhammad bin Abdul Wahhab.

Oleh : Ummu Abdillah bintu Mursyid

MENJAGA LISAN DARI MELAKNAT

 Bismillaahirrramaanirrahiim...


Kata laknat yang sudah menjadi bagian dari bahasa Indonesia memiliki dua makna dalam bahasa Arab :

Pertama : Bermakna mencerca.

Kedua : Bermakna pengusiran dan penjauhan dari rahmat Allah.

Ucapan laknat ini mungkin terlalu sering kita dengar dari orang-orang di lingkungan kita dan sepertinya saling melaknat merupakan perkara yang biasa bagi sementara orang, padahal melaknat seorang Mukmin termasuk dosa besar. Tsabit bin Adl Dlahhak radhiallahu 'anhu berkata :

“Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : ‘Siapa yang melaknat seorang Mukmin maka ia seperti membunuhnya.’ ” (HR. Bukhari dalam Shahihnya 10/464)

Ucapan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam : ((“Fahuwa Kaqatlihi”/Maka ia seperti membunuhnya)) dijelaskan oleh Al Hafidh Ibnu Hajar Al Asqalani  rahimahullah dalam kitabnya Fathul Bari : “Karena jika ia melaknat seseorang maka seakan-akan ia mendoakan kejelekan bagi orang tersebut dengan kebinasaan.”

Sebagian wanita begitu mudah melaknat orang yang ia benci bahkan orang yang sedang berpekara dengannya, sama saja apakah itu anaknya, suaminya, hewan atau selainnya.

Sangat tidak pantas bila ada seseorang yang mengaku dirinya Mukmin namun lisannya terlalu mudah untuk melaknat. Sebenarnya perangai jelek ini bukanlah milik seorang Mukmin, sebagaimana Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Bukanlah seorang Mukmin itu seorang yang suka mencela, tidak pula seorang yang suka melaknat, bukan seorang yang keji dan kotor ucapannya.” (HR. Bukhari dalam Kitabnya Al Adabul Mufrad halaman 116 dari hadits Abdullah bin Mas’ud radhiallahu 'anhu. Hadits ini disebutkan oleh Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i hafidhahullah dalam Kitabnya Ash Shahih Al Musnad 2/24)

Dan melaknat itu bukan pula sifatnya orang-orang yang jujur dalam keimanannya (shiddiq), karena Nabi  Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Tidak pantas bagi seorang shiddiq untuk menjadi seorang yang suka melaknat.” (HR. Muslim no. 2597)

Pada hari kiamat nanti, orang yang suka melaknat tidak akan dimasukkan dalam barisan para saksi yang mempersaksikan bahwa Rasul mereka telah menyampaikan risalah dan juga ia tidak dapat memberi syafaat di sisi Allah guna memintakan ampunan bagi seorang hamba. Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Orang yang suka melaknat itu bukanlah orang yang dapat memberi syafaat dan tidak pula menjadi saksi pada hari kiamat.” (HR. Muslim dalam  Shahihnya no. 2598 dari Abi Darda radhiallahu 'anhu)

Perangai yang buruk ini sangat besar bahayanya bagi pelakunya sendiri. Bila ia melaknat seseorang, sementara orang yang dilaknat itu tidak pantas untuk dilaknat maka laknat itu kembali kepadanya sebagai orang yang mengucapkan.

Imam Abu Daud rahimahullah meriwayatkan dari hadits Abu Darda radhiallahu 'anhu bahwasannya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Apabila seorang hamba melaknat sesuatu maka laknat tersebut naik ke langit, lalu tertutuplah pintu-pintu langit. Kemudian laknat itu turun ke bumi lalu ia mengambil ke kanan dan ke kiri. Apabila ia tidak mendapatkan kelapangan, maka ia kembali kepada orang yang dilaknat jika memang berhak mendapatkan laknat dan jika tidak ia kembali kepada orang yang mengucapkannya.”

Kata Al Hafidh Ibnu Hajar hafidhahullah tentang hadits ini : “Sanadnya jayyid (bagus). Hadits ini memiliki  syahid dari hadits Ibnu Mas’ud radhiallahu 'anhu dengan sanad yang hasan. Juga memiliki syahid lain yang dikeluarkan oleh Abu Daud dan Tirmidzi dari hadits Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma. Para perawinya adalah orang-orang kepercayaan (tsiqah), akan tetapi haditsnya mursal.”

Ada beberapa hal yang dikecualikan dalam larangan melaknat ini yakni kita boleh melaknat para pelaku maksiat dari kalangan Muslimin namun tidak secara ta’yin (menunjuk langsung dengan menyebut nama atau pelakunya). Tetapi laknat itu ditujukan secara umum, misal kita katakan : “Semoga Allah melaknat para pembegal jalanan itu… .”

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam sendiri telah melaknat wanita yang menyambung rambut dan wanita yang minta disambungkan rambutnya.

Beliau juga melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki dan masih banyak lagi. Berikut ini kami sebutkan beberapa haditsnya :

“Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam melaknat wanita yang menyambung rambutnya (dengan rambut palsu/konde) dan wanita yang minta disambungkan rambutnya.” (HR. Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya)

Beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mengabarkan :

“Allah melaknat wanita yang membuat tato, wanita yang minta dibuatkan tato, wanita yang mencabut alisnya, wanita yang minta dicabutkan alisnya, dan melaknat wanita yang mengikir giginya untuk tujuan memperindahnya, wanita yang merubah ciptaan Allah Azza wa Jalla.” (HR. Bukhari dan Muslim dari shahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu 'anhu)

“Allah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR. Bukhari dalam Shahihnya)

Dibolehkan juga melaknat orang kafir yang sudah meninggal dengan menyebut namanya untuk menerangkan keadaannya kepada manusia dan untuk maslahat syar’iyah. Adapun jika tidak ada maslahat syar’iyah maka tidak boleh karena Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Janganlah kalian mencaci orang-orang yang telah meninggal karena mereka telah sampai/menemui (balasan dari) apa yang dulunya mereka perbuat.”  (HR. Bukhari dalam Shahihnya dari hadits ‘Aisyah radhiallahu 'anha)

Setelah kita mengetahui buruknya perangai ini dan ancaman serta bahayanya yang bakal diterima oleh pengucapnya, maka hendaklah kita bertakwa kepada Allah Ta’ala. Janganlah kita membiasakan lisan kita untuk melaknat karena kebencian dan ketidaksenangan pada seseorang. Kita bertakwa kepada Allah Ta’ala dengan menjaga dan membersihkan lisan kita dari ucapan yang tidak pantas dan kita basahi selalu dengan kalimat thayyibah. Wallahu a’lam bis shawwab.

Minggu, 06 Mei 2012

AZAB ZINA YANG AMAT MENGERIKAN

    Allah swt berfirman:"Janganlah kamu mendekati zina sesungguhnya zina itu sangat menjijikkan dan merupakan jalan yang paling buruk."
(Al-Isra':32)
Nabi saw juga bersabda:''Wahai kaum muslimin,takutlah kamu akan akibat perbuatan zina.
Sebab,di situ ada enam balasan, yang tiga diberikan di dunia dan yang tiga lagi diberikan di akhirat.
Adapun yang tiga di dunia itu ialah hilangnya sinar di wajah, pendek umurnya dan terus-menerus dalam kefakiran.
Sedangkan tiga di akhirat itu ialah, mendapat kemurkakan Allah, hisab yang buruk dan azab neraka yang pedih.''
(Baihaqi)

Dalam ilmu fikih,zina artinya sepasang pria dan wanita yang mengadakan hubungan kelamin tanpa ikatan yang sah berupa perkawinan.Ayat dan hadist di atas memberikan peringatan keras kepada kita untuk menjahui perbuatan terkutuk itu karena perbuatan itu merupakan tindakan yg menjijikkan dan di pandang mesum oleh agama maupun masyarakat.

Dalam surat Al- Furqan 68-70, Allah menjelaskan bahwa zina termasuk kategori dosa besar no 3 setelah perbuatan sirik dan membunuh.

Allah swt berfirman:'' Perempuan yg berzina dan laki-laki yang berzina,maka deralah tiap-tiap dari keduanya seratus kali dera (jilid) dan janganlah kamu menaruh belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk menjalankan hukum Allah jika kamu beriman kepada Allah dan Hari Akhir.
Dan hendaklah pelaksanaan hukuman mereka di saksikan sekumpulan orang-orang yang beriman.''
(An-Nur:2)

Dalam kitab Zabur disebutkan
bahwa orang yg berzina itu kelak akan digantung kemaluanya di dalam api neraka dan dipukul dengan pecut dari besi.
Jika ia sudah kehausan meminta minum, lalu malaikat Zabaniah menjawab:''
Mana suara itu,kamu dulu ketawa-tawa bersuka ria dan bersenang-senang tidak memperhatikan aturan-aturan Allah dan tidak malu sama sekali.''

Wahai Pemuda!! Atas Nama Nabi, Nikahilah Janda Lansia Setulus Hati

         SOSOKNYA tinggi besar. Ia berkulit hitam karena memang ia perempuan keturunan Sudan. Ia hidup di periode awal dakwah terbuka yang harus dijalani dengan berbagai ancaman dan intimidasi kaum Quraisy.     Iman yang dipilihnya, membuat ia dan keluarganya diusir oleh kaum kerabat mereka. Sungguh bukan main-main pengorbanannya, menjalani hidup sebagai seorang Muslimah. Demi mempertahankan iman yang digenggamnya, perjalanan berat diarunginya ke negeri seberang samudera.

Di tengah perjuangan bertahan iman dan bertahan hidup di negeri yang sama sekali asing, terdengar kabar bahwa kaum Quraisy telah masuk Islam secara massal. Sikap mereka terhadap Rasulullah SAW dan kaum Muslimin pun telah melunak. Meluaplah kegembiraan didadanya.

Segera, bersama suami dan 12 orang anaknya, ia mengarungi kembali samudera demi pulang ke kampung halamannya. Padahal berita yang didengarnya tersebut tidaklah benar. Berita itu sengaja dihembuskan oleh kaum kafir agar orang-orang yang berhijrah ke Habasyah (Etiopia) kembali pulang ke Makkah dan mereka dapat memaksa para muhajir tersebut pada kekafiran.


...Keputusan Rasulullah SAW menikahi Saudah binti Zam’ah memang tak dapat diukur dengan standar manusia biasa...

Di tengah perjalanan mengarungi samudera, suaminya, Sakran bin Amral Al-Anshari, menderita sakit keras. Dalam perjalanan itu pula, orang yang selama ini mengokohkan hatinya itu menjemput ajal. Sungguh, hancur hati perempuan berhati lembut tersebut. Bersamanya, 12 orang anak yang kini menjadi yatim. Kekhawatiran mengabut di benaknya. Entah apa yang akan diperbuatnya demi hari depan kedua belas anaknya tersebut. Padahal, ia tahu benar, keluarganya di Makkah telah mengusirnya dan kabar tentang melunaknya sikap kaum Quraisy pun belum tentu menjamin keluarganya akan kembali menerimanya. Usianya pun sudah tak muda lagi. Kini usianya menjelang 70 tahun.

Ternyata benar, kekhawatiran tersebut menjadi nyata. Kaum musyrik Quraisy menyambut saudara-saudara mereka yang kembali dari Habasyah tersebut dengan ancaman tekanan dan intimidasi yang tak berubah. Mereka memang hanya ingin memaksa para muhajir itu untuk kembali pada berhala. Namun, ia tak punya pilihan. Kembali pada ayahnya yang masih musyrik adalah satu-satunya jalan yang tak dapat dihindarkan. Tak sulit untuk dibayangkan, penderitaan dan tekanan yang dijalani olehnya ketika itu.


...Satu-satunya dimensi yang dapat menerjemahkan arti ketulusan cinta, hanya karena mengharap ridha Ilahi saja...

Akhiri Duka dengan Cinta Sejati

Perjuangan dan penderitaannya pun sampai di telinga manusia mulia, Rasulullah SAW. Betapa harunya, hati junjungan umat itu mendengar nestapa yang membelit dirinya. Hatinya yang agung pun bermaksud menyudahi derita perempuan tua tersebut. Turunlah sabdanya untuk segera menikahi perempuan tersebut. Khaulah binti Hakim lah yang menyampaikan maksud Rasulullah SAW padanya. Sungguh tak terkira kegembiraan yang menyelubungi hatinya. Segala penderitaan seakan menguap dan berganti dengan rasa syukur yang tak mampu tergambarkan.

Akhirnya, bersandinglah ia dengan Rasulullah SAW. Ia, janda dengan 12 orang anak, tidak berharta, berusia 70 tahun, berkulit hitam, dan sama sekali tidak cantik. Ya, perempuan itu adalah Saudah binti Zam’ah RA yang dinikahi Rasulullah SAW tiga tahun sebelum hijrah ke Madinah. Ia menjadi istri pertama yang dinikahi Rasulullah setelah wafatnya Khadijah. Saudah pulalah yang dipilih oleh Rasulullah meski ketika itu, secara bersamaan, Abu Bakar menawarkan Rasulullah SAW untuk menikahi anak gadisnya, Aisyah RA.

Sungguh, banyak yang terbelalak keheranan ketika Rasulullah SAW memutuskan untuk menikahi Saudah. Mengapa Rasulullah justru menikahi Saudah, perempuan yang jauh berbeda kondisinya dengan Khadijah RA dan memilihnya, justru di saat Abu Bakar menawarkan anak gadisnya? Saudah pun terkenal dengan fisiknya yang tak rupawan. Sementara Rasulullah adalah puncak keagungan dengan fisik yang menawan. Sebagaimana diriwayatkan dari Barra bin Azib, “Rasulullah adalah manusia yang paling rupawan dan baik akhlaknya. Tidak terlalu tinggi, tidak pula bertubuh pendek” (HR. Bukhari).


...Setiap laki-laki Mukmin harus memiliki tanggung jawab lebih untuk menyudahi penderitaan para janda, ibu dari anak-anak yatim dengan menikahi mereka...

Keputusan Rasulullah SAW menikahi Saudah binti Zam’ah memang tak dapat diukur dengan standar manusia biasa. Apa yang dipilih oleh Rasulullah SAW dengan menikahi perempuan tua berkulit hitam, gemuk, dan tidak kaya tersebut memang hanya dapat dimengerti oleh dimensi iman. Satu-satunya dimensi yang dapat menerjemahkan arti ketulusan dan kesejatian cinta, hanya karena mengharap ridha Ilahi saja.

Pernikahan inipun menjadi pesan sepanjang zaman bahwa setiap laki-laki Mukmin memiliki tanggung jawab lebih untuk menyudahi penderitaan perempuan-perempuan janda, ibu dari anak-anak yatim, atau perempuan-perempuan perawan yang terlanjur menua karena tak cantik dan tak kaya dengan menikahi mereka. Mengambil tanggung jawab sebagai seorang pelindung dan pengayom perempuan dan anak-anak agar mereka tetap tumbuh berkembang dalam kasih sayang aturan Ad-Diin ini.

Inilah yang diwasiatkan oleh pernikahan agung Rasulullah Muhammad SAW dengan Saudah binti Zam’ah. Perempuan yang juga mendapatkan kehormatan untuk menyusul kepergian Rasulullah SAW kembali ke pangkuan Robb-nya. Sejenak setelah Rasulullah SAW wafat. 

---dari berbagai sumber---