Rabu, 09 Mei 2012

ILMU - Perhiasan Tak Ternilai Bagi Muslimah-

 Bismillaahirramaanirrahiim..


Seorang yang mendambakan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat harus memiliki pedoman dalam menapaki kehidupannya di dunia. Dan pedoman hidup seorang hamba semua telah diatur dalam syariat Islam.

Seorang yang sukses bukanlah orang yang hidup dengan bersemboyan ‘semau gue’ dengan mengikuti hawa nafsunya, tapi orang yang sukses adalah orang yang mengambil Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dengan pemahaman As Salafus Shalih sebagai pengikat aturan hidupnya. Petunjuk Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ini tidak mungkin dapat diketahui tanpa menuntut ilmu syar’i. Karena itulah, Allah dan Rasul-Nya memerintahkan setiap Muslim dan Muslimah yang baligh dan berakal (mukallaf) untuk menuntut ilmu.

Dalam sebuah hadits dari Anas bin Malik  radhiallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Menuntut ilmu wajib bagi setiap Muslim.” (HR. Ahmad dengan sanad hasan. Lihat kitab Jami’ Bayan Al ‘Ilmi wa Fadllihi karya Ibnu ‘Abdil Bar, tahqiq Abi Al Asybal Az Zuhri, yang membahas panjang lebar tentang derajat hadits ini)

Imam Ahmad rahimahullah mengatakan bahwa ilmu yang wajib dituntut di sini adalah ilmu yang dapat menegakkan agama seseorang, seperti dalam perkara shalatnya, puasanya, dan semisalnya. Dan segala sesuatu yang wajib diamalkan manusia maka wajib pula mengilmuinya, seperti pokok-pokok keimanan, syariat Islam, perkara-perkara haram yang harus dijauhi, perkara muamalah, dan segala yang dapat menyempurnakan kewajibannya.

Sebagai hamba Allah, seorang Muslimah wajib mengenal Rabbnya yang meliputi pengetahuan terhadap nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagaimana diberitakan dalam Al Qur’an dan hadits-hadits yang shahih. Selain itu, ia harus mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala bersendiri dalam mencipta, mengatur, memiliki, dan memberi rezeki. Ia pun wajib menunaikan hak-hak Allah, yaitu beribadah hanya kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun, sebagaimana tujuan penciptaannya. Allah berfirman :

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” (Adz Dzariyat : 56)

Seseorang tidak akan berada di atas hakikat agamanya sebelum ia berilmu atau mengenal Allah Ta’ala. Pengenalan ini tidak akan terjadi kecuali dengan menuntut ilmu dien (agama).

Di samping mengenal Allah, seorang Muslimah juga wajib mengenal Nabi-nya, yaitu Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, karena beliau merupakan perantara antara Allah dengan manusia dalam penyampaian risalah-Nya. Sesuai dengan makna persaksiannya bahwa Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam adalah hamba dan Rasul-Nya, maka ia wajib mentaati segala yang beliau perintahkan, membenarkan segala yang beliau khabarkan, menjauhi apa yang beliau larang dan tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan apa yang beliau syariatkan. Hal ini sesuai dengan perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala :

“Apa yang diberikan Rasul kepada kalian maka terimalah, dan apa yang dilarangnya bagi kalian maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukumannya.” (Al Hasyr : 7)

Ayat ini merupakan kaidah umum yang agung dan jelas tentang wajibnya seluruh kaum Muslimin mengambil sunnah yang telah tetap dan hadits-hadits shahih dalam aqidah, ibadah, muamalah, adab, akhlak, seluruhnya. Hal ini tidak akan diketahui kecuali dengan menuntut ilmu terlebih dahulu.

Selain mengenal Allah dan Rasul-Nya, seorang Muslimah juga wajib mengenal agama Islam sebagai agama yang dianutnya, dengan memperhatikan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah yang shahihah, sehingga ia memiliki pendirian kokoh, tidak mudah terombang-ambing. Dan agar ia berada di atas cahaya, bukti, dan kejelasan dari agamanya.

Inilah masalah pertama yang disebutkan oleh Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam bukunya Al Ushuluts Tsalatsah, yaitu berilmu sebelum beramal dan berdakwah.

Seorang Muslimah juga wajib membekali dirinya dengan ilmu sebelum memasuki jenjang pernikahan, sehingga ia dapat menunaikan kewajibannya sesuai dengan tuntunan syariat.

Sebagai isteri, seorang Muslimah dituntut agar menjadi isteri yang shalihah, sehingga ia dapat menjadi perhiasan dunia yang paling baik, bukan justru menjadi fitnah atau musuh bagi suaminya. Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash radhiallahu 'anhuma berkata, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang shalihah.” (HR. Muslim)

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman tentang sifat-sifat wanita shalihah :

“… maka wanita shalihah, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena itu Allah telah memelihara mereka.” (An Nisa’ : 34)

Maksud ayat ini diterangkan oleh Asy Syaikh Abu Bakar Jabir Al Jazairi dan Asy Syaikh Salim Al Hilali rahimahumullah bahwa wanita yang shalihah adalah yang menunaikan hak-hak Allah Subhanahu wa Ta'ala dan mentaati-Nya, mentaati Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, dan menunaikan hak-hak suaminya dengan mentaatinya dan menghormatinya, serta menjaga harta suami, anak-anak mereka, dan kehormatannya tatkala suaminya tidak ada.

Untuk menjadi wanita shalihah yang seperti ini, seorang Muslimah membutuhkan ilmu.

Sebagai seorang ibu, ia mempunyai tanggung jawab mendidik anak-anaknya agar menjadi anak-anak yang shalih dan shalihah. Di bawah kepemimpinan suami, isteri adalah penjaga rumah tangga suami dan anak-anaknya, sebagaimana dalam hadits dari Ibnu ‘Umar radhiallahu 'anhuma dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bahwasanya beliau bersabda :

“Laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya, wanita adalah pemimpin dalam rumah tangga suaminya dan anak-anaknya, maka setiap kalian adalah pemimpin, akan ditanya tentang yang dipimpinnya.” (Muttafaqun ‘Alaihi)

Hasil didikan seorang ibu terhadap anak-anaknya inilah yang termasuk perkara yang akan ditanyakan oleh Allah kelak di hari kiamat. Karena itulah Muslimah harus menuntut ilmu syar’i sebagai bekal mendidik anak-anak sehingga fitrah mereka tetap terjaga dan menjadi penyejuk hati karena keshalihan mereka.

Di tempat lain, bila seorang Muslimah belum menikah, maka sebagai anak ia wajib taat pada orang tuanya selama tidak memerintahkan kepada maksiat. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

“Kami wasiatkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada kedua orang tuanya… .” (Al Ankabut : 8)

Dalam hadits dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash radhiallahu 'anhuma dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda :

“Dosa-dosa besar ialah menyekutukan Allah, durhaka pada orang tua, membunuh jiwa (tanpa hak), dan sumpah palsu.” (HR. Bukhari)

Untuk dapat berbuat baik dan menunaikan hak-hak orang tua dengan benar, seorang Muslimah tidak bisa lepas dari ilmu.

Seluruh kewajiban ini harus dapat ditunaikan dengan dasar ilmu. Karena jika tidak, akan terjadi berbagai kesalahan dan kerusakan. Maka tidak heran, bila para Muslimah yang bodoh terhadap agamanya melakukan berbagai praktek kesyirikan dan kebid’ahan. Akibat kebodohannya pula, banyak Muslimah yang durhaka pada suami atau orang tuanya. Atau terjadi berbagai kesalahan dalam mendidik anak sehingga muncullah generasi yang berakhlak buruk, bahkan bisa jadi durhaka pada orang tua yang telah merawat dan membesarkannya. Karena kebodohannya pula, banyak Muslimah yang tidak mengetahui bagaimana ia harus menjaga kehormatannya, sehingga ia menjadi fitnah dan terjerumus dalam perzinahan dan berbagai kemaksiatan. Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dari yang demikian itu.

Usamah bin Zaid radhiallahu 'anhuma berkata, telah bersabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam :

“Aku berdiri di muka pintu Syurga, maka aku dapatkan mayoritas penghuninya adalah orang-orang miskin, sedang orang-orang kaya masih tertahan oleh perhitungan kekayaannya. Dan ahli neraka telah diperintahkan masuk neraka. Dan ketika aku berdiri di dekat pintu neraka, maka aku dapatkan mayoritas penghuninya adalah para wanita.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hanya dengan menuntut ilmu, seorang Muslimah akan mengetahui jalan yang selamat. Kaum Muslimah masa kini akan menjadi baik bila mereka mau mencontoh para Muslimah generasi terdahulu (generasi salafuna shalih), mereka sangat memperhatikan dan bersemangat dalam menuntut ilmu.

Dalam sebuah hadits dari Abi Sa’id Al Khudri  radhiallahu 'anhu, ia berkata : “Seorang wanita mendatangi Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan berkata :

‘Wahai Rasulullah! Kaum lelaki telah membawa haditsmu, maka jadikanlah bagi kami satu harimu yang kami datang pada hari tersebut agar engkau mengajarkan pada kami apa yang telah diajarkan Allah kepadamu.’ Maka beliau bersabda : ‘Berkumpullah pada hari ini dan ini di tempat ini.’ Maka mereka pun berkumpul, lalu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mendatangi mereka dan mengajarkan apa yang telah diajarkan Allah kepada beliau.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam pun sangat bersemangat mengajar para shahabiyah, sampai-sampai beliau menyuruh wanita yang haid, baligh, dan merdeka untuk menyaksikan kumpulan ilmu dan kebaikan. Bahkan beliau  Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam memutuskan udzur wanita yang tidak memiliki hijab, sebagaimana yang disebutkan dalam Shahihain dari Ummu ‘Athiyah Al Anshariyah radhiallahu 'anha, ia berkata :  “Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menyuruh kami mengeluarkan wanita yang merdeka, yang haid, dan yang dipingit untuk keluar pada hari Iedul Fithri dan Adha. Adapun yang haid memisahkan diri dari tempat shalat, dan mereka pun menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum Muslimin. Aku berkata : ‘Wahai Rasulullah! Salah seorang dari kami tidak memiliki jilbab.’ Beliau bersabda : ’Hendaklah saudaranya meminjamkan jilbabnya.’ “

Oleh karena itulah, kita dapatkan dalam sejarah Islam, di antara mereka ada yang menjadi ahli fiqih, ahli tafsir, sastrawati, dan ahli dalam seluruh bidang ilmu dan bahasa. Sebagai contoh, Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiallahu 'anha yang dididik dalam madrasah Rasulullah  Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam sehingga beliau menjadi wanita yang berilmu dan shalihah.

Imam Az Zuhri rahimahullah berkata : ”Seandainya ilmu ‘Aisyah dikumpulkan dan dibandingkan dengan ilmu seluruh wanita, maka ilmu ‘Aisyah lebih afdhal.”

Bahkan ‘Aisyah merupakan guru dari beberapa shahabat, ia menjadi bahan rujukan mereka dalam masalah hadits, sunnah, dan fiqih. Urwah bin Az Zubair berkata : “Aku tidak melihat orang yang lebih mengetahui ilmu fiqih, pengobatan, dan syi’ir ketimbang ‘Aisyah.”

Para wanita dari kalangan tabi’in juga berdatangan ke rumah ‘Aisyah untuk belajar, di antara muridnya adalah Amrah bintu ‘Abdurrahman bin Sa’ad bin Zurarah. Ibnu Hibban berkata : “Dia adalah orang yang paling mengetahui hadits-haditsnya ‘Aisyah.”

Di antara deretan nama wanita generasi terdahulu yang cemerlang dalam ilmu adalah Hafshah bintu Sirin yang masyhur dengan ibadahnya, kefaqihannya, bacaan Al Qur’annya, dan hadits-haditsnya. Begitu pula Ummu Darda Ash Shuqra Hujaimah, ia seorang yang faqih, ’alimah, banyak meriwayatkan hadits, cerdas, masyhur dengan keilmuan, amalan, dan zuhudnya.

Demikianlah --wahai saudariku Muslimah-- mereka adalah contoh terbaik bagi kita dan telah terbukti bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala mengangkat derajat orang-orang yang berilmu sebagaimana firman-Nya :

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al Mujadilah : 11)

Semoga Allah memudahkan jalan bagi kita untuk menuntut ilmu dan memberikan ilmu yang bermanfaat. Amin. Wallahu A’lam Bis Shawab.

Maraji’ :

1.        Al Qur’anul Karim
2.         Inayatun Nisa’ bil Hadits An Nabawi. Abu ‘Ubaidah Masyhur bin Hasan Alu Salman.
3.        Nisa’ Haula Ar Rasul. Mahmud Mahdi Al Istambuli dan Musthafa Abu Nashr Asy Syalbi.
4.         Riyadlus Shalihin. Imam Nawawi.
5.         Bahjatun Nadhirin. Salim bin ‘Ied Al Hilali.
6.        Aisarut Tafasir. Abu Bakar Jabir Al Jazairi.
7.         Hasyiyah Ats Tsalatsah Al Ushul. Muhammad bin Abdul Wahhab.

Oleh : Ummu Abdillah bintu Mursyid

MENJAGA LISAN DARI MELAKNAT

 Bismillaahirrramaanirrahiim...


Kata laknat yang sudah menjadi bagian dari bahasa Indonesia memiliki dua makna dalam bahasa Arab :

Pertama : Bermakna mencerca.

Kedua : Bermakna pengusiran dan penjauhan dari rahmat Allah.

Ucapan laknat ini mungkin terlalu sering kita dengar dari orang-orang di lingkungan kita dan sepertinya saling melaknat merupakan perkara yang biasa bagi sementara orang, padahal melaknat seorang Mukmin termasuk dosa besar. Tsabit bin Adl Dlahhak radhiallahu 'anhu berkata :

“Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : ‘Siapa yang melaknat seorang Mukmin maka ia seperti membunuhnya.’ ” (HR. Bukhari dalam Shahihnya 10/464)

Ucapan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam : ((“Fahuwa Kaqatlihi”/Maka ia seperti membunuhnya)) dijelaskan oleh Al Hafidh Ibnu Hajar Al Asqalani  rahimahullah dalam kitabnya Fathul Bari : “Karena jika ia melaknat seseorang maka seakan-akan ia mendoakan kejelekan bagi orang tersebut dengan kebinasaan.”

Sebagian wanita begitu mudah melaknat orang yang ia benci bahkan orang yang sedang berpekara dengannya, sama saja apakah itu anaknya, suaminya, hewan atau selainnya.

Sangat tidak pantas bila ada seseorang yang mengaku dirinya Mukmin namun lisannya terlalu mudah untuk melaknat. Sebenarnya perangai jelek ini bukanlah milik seorang Mukmin, sebagaimana Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Bukanlah seorang Mukmin itu seorang yang suka mencela, tidak pula seorang yang suka melaknat, bukan seorang yang keji dan kotor ucapannya.” (HR. Bukhari dalam Kitabnya Al Adabul Mufrad halaman 116 dari hadits Abdullah bin Mas’ud radhiallahu 'anhu. Hadits ini disebutkan oleh Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i hafidhahullah dalam Kitabnya Ash Shahih Al Musnad 2/24)

Dan melaknat itu bukan pula sifatnya orang-orang yang jujur dalam keimanannya (shiddiq), karena Nabi  Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Tidak pantas bagi seorang shiddiq untuk menjadi seorang yang suka melaknat.” (HR. Muslim no. 2597)

Pada hari kiamat nanti, orang yang suka melaknat tidak akan dimasukkan dalam barisan para saksi yang mempersaksikan bahwa Rasul mereka telah menyampaikan risalah dan juga ia tidak dapat memberi syafaat di sisi Allah guna memintakan ampunan bagi seorang hamba. Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Orang yang suka melaknat itu bukanlah orang yang dapat memberi syafaat dan tidak pula menjadi saksi pada hari kiamat.” (HR. Muslim dalam  Shahihnya no. 2598 dari Abi Darda radhiallahu 'anhu)

Perangai yang buruk ini sangat besar bahayanya bagi pelakunya sendiri. Bila ia melaknat seseorang, sementara orang yang dilaknat itu tidak pantas untuk dilaknat maka laknat itu kembali kepadanya sebagai orang yang mengucapkan.

Imam Abu Daud rahimahullah meriwayatkan dari hadits Abu Darda radhiallahu 'anhu bahwasannya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Apabila seorang hamba melaknat sesuatu maka laknat tersebut naik ke langit, lalu tertutuplah pintu-pintu langit. Kemudian laknat itu turun ke bumi lalu ia mengambil ke kanan dan ke kiri. Apabila ia tidak mendapatkan kelapangan, maka ia kembali kepada orang yang dilaknat jika memang berhak mendapatkan laknat dan jika tidak ia kembali kepada orang yang mengucapkannya.”

Kata Al Hafidh Ibnu Hajar hafidhahullah tentang hadits ini : “Sanadnya jayyid (bagus). Hadits ini memiliki  syahid dari hadits Ibnu Mas’ud radhiallahu 'anhu dengan sanad yang hasan. Juga memiliki syahid lain yang dikeluarkan oleh Abu Daud dan Tirmidzi dari hadits Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma. Para perawinya adalah orang-orang kepercayaan (tsiqah), akan tetapi haditsnya mursal.”

Ada beberapa hal yang dikecualikan dalam larangan melaknat ini yakni kita boleh melaknat para pelaku maksiat dari kalangan Muslimin namun tidak secara ta’yin (menunjuk langsung dengan menyebut nama atau pelakunya). Tetapi laknat itu ditujukan secara umum, misal kita katakan : “Semoga Allah melaknat para pembegal jalanan itu… .”

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam sendiri telah melaknat wanita yang menyambung rambut dan wanita yang minta disambungkan rambutnya.

Beliau juga melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki dan masih banyak lagi. Berikut ini kami sebutkan beberapa haditsnya :

“Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam melaknat wanita yang menyambung rambutnya (dengan rambut palsu/konde) dan wanita yang minta disambungkan rambutnya.” (HR. Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya)

Beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam mengabarkan :

“Allah melaknat wanita yang membuat tato, wanita yang minta dibuatkan tato, wanita yang mencabut alisnya, wanita yang minta dicabutkan alisnya, dan melaknat wanita yang mengikir giginya untuk tujuan memperindahnya, wanita yang merubah ciptaan Allah Azza wa Jalla.” (HR. Bukhari dan Muslim dari shahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu 'anhu)

“Allah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR. Bukhari dalam Shahihnya)

Dibolehkan juga melaknat orang kafir yang sudah meninggal dengan menyebut namanya untuk menerangkan keadaannya kepada manusia dan untuk maslahat syar’iyah. Adapun jika tidak ada maslahat syar’iyah maka tidak boleh karena Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Janganlah kalian mencaci orang-orang yang telah meninggal karena mereka telah sampai/menemui (balasan dari) apa yang dulunya mereka perbuat.”  (HR. Bukhari dalam Shahihnya dari hadits ‘Aisyah radhiallahu 'anha)

Setelah kita mengetahui buruknya perangai ini dan ancaman serta bahayanya yang bakal diterima oleh pengucapnya, maka hendaklah kita bertakwa kepada Allah Ta’ala. Janganlah kita membiasakan lisan kita untuk melaknat karena kebencian dan ketidaksenangan pada seseorang. Kita bertakwa kepada Allah Ta’ala dengan menjaga dan membersihkan lisan kita dari ucapan yang tidak pantas dan kita basahi selalu dengan kalimat thayyibah. Wallahu a’lam bis shawwab.

Minggu, 06 Mei 2012

AZAB ZINA YANG AMAT MENGERIKAN

    Allah swt berfirman:"Janganlah kamu mendekati zina sesungguhnya zina itu sangat menjijikkan dan merupakan jalan yang paling buruk."
(Al-Isra':32)
Nabi saw juga bersabda:''Wahai kaum muslimin,takutlah kamu akan akibat perbuatan zina.
Sebab,di situ ada enam balasan, yang tiga diberikan di dunia dan yang tiga lagi diberikan di akhirat.
Adapun yang tiga di dunia itu ialah hilangnya sinar di wajah, pendek umurnya dan terus-menerus dalam kefakiran.
Sedangkan tiga di akhirat itu ialah, mendapat kemurkakan Allah, hisab yang buruk dan azab neraka yang pedih.''
(Baihaqi)

Dalam ilmu fikih,zina artinya sepasang pria dan wanita yang mengadakan hubungan kelamin tanpa ikatan yang sah berupa perkawinan.Ayat dan hadist di atas memberikan peringatan keras kepada kita untuk menjahui perbuatan terkutuk itu karena perbuatan itu merupakan tindakan yg menjijikkan dan di pandang mesum oleh agama maupun masyarakat.

Dalam surat Al- Furqan 68-70, Allah menjelaskan bahwa zina termasuk kategori dosa besar no 3 setelah perbuatan sirik dan membunuh.

Allah swt berfirman:'' Perempuan yg berzina dan laki-laki yang berzina,maka deralah tiap-tiap dari keduanya seratus kali dera (jilid) dan janganlah kamu menaruh belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk menjalankan hukum Allah jika kamu beriman kepada Allah dan Hari Akhir.
Dan hendaklah pelaksanaan hukuman mereka di saksikan sekumpulan orang-orang yang beriman.''
(An-Nur:2)

Dalam kitab Zabur disebutkan
bahwa orang yg berzina itu kelak akan digantung kemaluanya di dalam api neraka dan dipukul dengan pecut dari besi.
Jika ia sudah kehausan meminta minum, lalu malaikat Zabaniah menjawab:''
Mana suara itu,kamu dulu ketawa-tawa bersuka ria dan bersenang-senang tidak memperhatikan aturan-aturan Allah dan tidak malu sama sekali.''

Wahai Pemuda!! Atas Nama Nabi, Nikahilah Janda Lansia Setulus Hati

         SOSOKNYA tinggi besar. Ia berkulit hitam karena memang ia perempuan keturunan Sudan. Ia hidup di periode awal dakwah terbuka yang harus dijalani dengan berbagai ancaman dan intimidasi kaum Quraisy.     Iman yang dipilihnya, membuat ia dan keluarganya diusir oleh kaum kerabat mereka. Sungguh bukan main-main pengorbanannya, menjalani hidup sebagai seorang Muslimah. Demi mempertahankan iman yang digenggamnya, perjalanan berat diarunginya ke negeri seberang samudera.

Di tengah perjuangan bertahan iman dan bertahan hidup di negeri yang sama sekali asing, terdengar kabar bahwa kaum Quraisy telah masuk Islam secara massal. Sikap mereka terhadap Rasulullah SAW dan kaum Muslimin pun telah melunak. Meluaplah kegembiraan didadanya.

Segera, bersama suami dan 12 orang anaknya, ia mengarungi kembali samudera demi pulang ke kampung halamannya. Padahal berita yang didengarnya tersebut tidaklah benar. Berita itu sengaja dihembuskan oleh kaum kafir agar orang-orang yang berhijrah ke Habasyah (Etiopia) kembali pulang ke Makkah dan mereka dapat memaksa para muhajir tersebut pada kekafiran.


...Keputusan Rasulullah SAW menikahi Saudah binti Zam’ah memang tak dapat diukur dengan standar manusia biasa...

Di tengah perjalanan mengarungi samudera, suaminya, Sakran bin Amral Al-Anshari, menderita sakit keras. Dalam perjalanan itu pula, orang yang selama ini mengokohkan hatinya itu menjemput ajal. Sungguh, hancur hati perempuan berhati lembut tersebut. Bersamanya, 12 orang anak yang kini menjadi yatim. Kekhawatiran mengabut di benaknya. Entah apa yang akan diperbuatnya demi hari depan kedua belas anaknya tersebut. Padahal, ia tahu benar, keluarganya di Makkah telah mengusirnya dan kabar tentang melunaknya sikap kaum Quraisy pun belum tentu menjamin keluarganya akan kembali menerimanya. Usianya pun sudah tak muda lagi. Kini usianya menjelang 70 tahun.

Ternyata benar, kekhawatiran tersebut menjadi nyata. Kaum musyrik Quraisy menyambut saudara-saudara mereka yang kembali dari Habasyah tersebut dengan ancaman tekanan dan intimidasi yang tak berubah. Mereka memang hanya ingin memaksa para muhajir itu untuk kembali pada berhala. Namun, ia tak punya pilihan. Kembali pada ayahnya yang masih musyrik adalah satu-satunya jalan yang tak dapat dihindarkan. Tak sulit untuk dibayangkan, penderitaan dan tekanan yang dijalani olehnya ketika itu.


...Satu-satunya dimensi yang dapat menerjemahkan arti ketulusan cinta, hanya karena mengharap ridha Ilahi saja...

Akhiri Duka dengan Cinta Sejati

Perjuangan dan penderitaannya pun sampai di telinga manusia mulia, Rasulullah SAW. Betapa harunya, hati junjungan umat itu mendengar nestapa yang membelit dirinya. Hatinya yang agung pun bermaksud menyudahi derita perempuan tua tersebut. Turunlah sabdanya untuk segera menikahi perempuan tersebut. Khaulah binti Hakim lah yang menyampaikan maksud Rasulullah SAW padanya. Sungguh tak terkira kegembiraan yang menyelubungi hatinya. Segala penderitaan seakan menguap dan berganti dengan rasa syukur yang tak mampu tergambarkan.

Akhirnya, bersandinglah ia dengan Rasulullah SAW. Ia, janda dengan 12 orang anak, tidak berharta, berusia 70 tahun, berkulit hitam, dan sama sekali tidak cantik. Ya, perempuan itu adalah Saudah binti Zam’ah RA yang dinikahi Rasulullah SAW tiga tahun sebelum hijrah ke Madinah. Ia menjadi istri pertama yang dinikahi Rasulullah setelah wafatnya Khadijah. Saudah pulalah yang dipilih oleh Rasulullah meski ketika itu, secara bersamaan, Abu Bakar menawarkan Rasulullah SAW untuk menikahi anak gadisnya, Aisyah RA.

Sungguh, banyak yang terbelalak keheranan ketika Rasulullah SAW memutuskan untuk menikahi Saudah. Mengapa Rasulullah justru menikahi Saudah, perempuan yang jauh berbeda kondisinya dengan Khadijah RA dan memilihnya, justru di saat Abu Bakar menawarkan anak gadisnya? Saudah pun terkenal dengan fisiknya yang tak rupawan. Sementara Rasulullah adalah puncak keagungan dengan fisik yang menawan. Sebagaimana diriwayatkan dari Barra bin Azib, “Rasulullah adalah manusia yang paling rupawan dan baik akhlaknya. Tidak terlalu tinggi, tidak pula bertubuh pendek” (HR. Bukhari).


...Setiap laki-laki Mukmin harus memiliki tanggung jawab lebih untuk menyudahi penderitaan para janda, ibu dari anak-anak yatim dengan menikahi mereka...

Keputusan Rasulullah SAW menikahi Saudah binti Zam’ah memang tak dapat diukur dengan standar manusia biasa. Apa yang dipilih oleh Rasulullah SAW dengan menikahi perempuan tua berkulit hitam, gemuk, dan tidak kaya tersebut memang hanya dapat dimengerti oleh dimensi iman. Satu-satunya dimensi yang dapat menerjemahkan arti ketulusan dan kesejatian cinta, hanya karena mengharap ridha Ilahi saja.

Pernikahan inipun menjadi pesan sepanjang zaman bahwa setiap laki-laki Mukmin memiliki tanggung jawab lebih untuk menyudahi penderitaan perempuan-perempuan janda, ibu dari anak-anak yatim, atau perempuan-perempuan perawan yang terlanjur menua karena tak cantik dan tak kaya dengan menikahi mereka. Mengambil tanggung jawab sebagai seorang pelindung dan pengayom perempuan dan anak-anak agar mereka tetap tumbuh berkembang dalam kasih sayang aturan Ad-Diin ini.

Inilah yang diwasiatkan oleh pernikahan agung Rasulullah Muhammad SAW dengan Saudah binti Zam’ah. Perempuan yang juga mendapatkan kehormatan untuk menyusul kepergian Rasulullah SAW kembali ke pangkuan Robb-nya. Sejenak setelah Rasulullah SAW wafat. 

---dari berbagai sumber---

Heiiii Cantik, Ngapain Kamu Berjilbab?


Pernah ga sobat denger pertanyaan “ngapain sih pake jilbab, masih muda khan jadi ga keliatan cantiknya?”, atau pernyataan “aku mau pake tapi jika dah nikah nanti”, atau kalimat sejenisnya yang menyatakan keberatan berjilbab. Mungkin kalimat di atas tidak menimpa diri kita, tetapi temen deket atau kerabat. Semua tahu dan sepakat, tidak ada pertentangan bahwa berjilbab itu wajib bagi wanita balig, yang mengaku muslimah tidak ada alasan untuk mencari-cari alibi menghindari menutup aurat.

Allah Azza Wa Jalla yang menciptakan manusia, paling Mengetahui perkara yang mendatangkan maslahat (perkara yang membawa pada kebaikan) dibanding manusia itu sendiri. Allah Maha Mengetahui, Maha Kasih Sayang dan Maha Bijaksana kepada hamba-hamba-Nya.

“Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan kamu rahasiakan), dan Dia Maha Halus dan Maha Mengetahui?” (Qs Al Mulk 14).


...Menutup aurat itu mengandung banyak kebaikan bagi wanita, meski banyak yang menyelewengkannya sehingga muncul sejuta alasan untuk menolaknya...

Menutup aurat itu sendiri juga mengandung banyak kebaikan bagi wanita, hanya saja banyak yang menyelewengkan perintah ini sehingga muncul aneka ragam alasan untuk menolaknya. Masih segar dalam ingatan masyarakat, tahun 90an banyak statement sesat untuk menolak berjilbab. Pelajar akan dikatakan sulit mencari kerja jika belajar pada sekolah yang mewajibkan dirinya memakai jilbab.

Imbas dari rumor sesat ini akhirnya berkembang pada khalayak luas bahwasanya jilbab identik dengan kekolotan dan kemunduran. Kini kita hidup di era 2000an, era manusia semakin cerdas dan kritis menilai segala sesuatu, termasuk mengenai jilbab, muncul kesadaran masyarakat Indonesia untuk mengenakan jilbab.

Jika suatu waktu nanti akan ada yang bertanya pada anda “Hei cantik ngapain berjilbab?” jawabnya cukup sederhana:

1. Sebagai bentuk ketaatan pada Allah Sang Pemberi hidayah, sebagaimana tercantum dalam surat An-Nur 31 dan Al-Ahzab 59.

2. Sebagai bentuk ketaatan pada apa yang dicontohkan Rasulullah dan istri-istrinya dalam menjaga diri agar terhindar dari fitnah, sebagaimana yang termaktub dalam surat Al-Ahzab 53.

3. Sebagai identitas pembeda antara muslimah dan non muslimah. Jika wanita mengenakan jilbab, maka semua manusia akan tahu jika dia muslimah, tetapi jika wanita ditempat umum tidak menutup aurat, agama dan keimanannya masih diragukan.

4. Sebagai pelindung diri dari laki-laki tidak baik. Jika wanita itu mengenakan jilbab, sangat kecil kemungkinan untuk diganggu atau dilecehkan, berbeda dengan wanita yang mengenakan pakaian seksi. Ketika wanita mengenakan pakaian seksi ditempat umum, ada sepucuk pesan dibalik pesonanya, yang kurang lebih begini “hei cowok, gangguin kita dunk!” ^_^

5. Sebagai pelindung kulit. Ketika siang hari mengharuskan wanita beraktivitas diluar rumah, sangat rentan kulitnya cepat rusak dan terlihat tua sebelum waktunya, padahal kulit sehat merupakan dambaan setiap wanita, pemakaian jilbab secara benar akan melindungi dan menjaga kulit wanita dari ganasnya sinar matahari. Bukan hanya matahari, sebagian manusia yang menempati bumi juga mengalami musim dingin di banyak negara. Bagi wanita, jilbab merupakan pelindung ampuh dari dinginnya cuaca.

6. Sebagai pengontrol. Jika wanita tidak berjilbab, cenderung merasa bebas dan tidak terikat dengan pakaian yang dikenakannya. Berbeda dengan wanita berjilbab, jika ingin berbuat sesuatu yang melanggar norma-norma agama, maka ia akan berpikir matang, jilbab menjadi alat pengontrol dan pengingatnya.


sumber :: page dari Ya Allah Ijinkan Hamba Menggelar Sajadah Bersamanya

Malaikat di Rumahmu



Suatu hari seorang bayi siap untuk dilahirkan ke dunia. Dia bertanya kepada Allah : "Para malaikat disini mengatakan bahawa besok engkau akan mengirimku ke dunia, tetapi bagaimana cara saya hidup disana, saya begitu kecil dan lemah"?


Dan Tuhan menjawab, "Saya telah memilih satu malaikat untukmu. Ia akan menjaga dan mengasihimu."


"Tapi disini, di dalam syurga, apa yang pernah saya lakukan hanyalah bernyanyi dan tertawa. Ini sudah cukup bagi saya untuk berbahagia."


"Malaikatmu akan bernyanyi dan tersenyum untukmu setiap hari. Dan kamu akan merasakan kehangatan cintanya dan menjadi lebih berbahagia."


"Dan bagaimana saya boleh mengerti saat orang-orang bercakap kepadaku jika saya tidak mengerti bahasa mereka ?"


"Malaikatmu akan bercakap kepadamu dengan bahasa yang paling indah yang pernah kamu dengar; dan dengan penuh kesabaran dan perhatian, dia akan mengajarkan bagaimana cara kamu bercakap."


"Dan apa yang akan saya lakukan saat saya ingin berbicara kepadaMu ?"


"Malaikatmu akan mengajarkan bagaimana cara kamu berdoa."


"Saya mendengar bahawa di Bumi banyak orang jahat. Siapa yang akan melindungi saya ?"


"Malaikatmu akan melindungimu, walaupun hal tersebut mungkin dapat mengancam jiwanya."


"Tapi, saya pasti akan merasa sedih kerana tidak melihatMu lagi."


"Malaikatmu akan menceritakan padamu tentang Aku, dan akan mengajarkan bagaimana agar kamu boleh kembali kepadaKu, walaupun sesungguhnya Aku akan selalu berada di sisimu."


Saat itu Syurga begitu tenangnya sehingga suara dari Bumi dapat terdengar, dan sang anak bertanya perlahan Ya Allah, jika saya harus pergi sekarang, bolehkah Kamu memberitahuku nama malaikat tersebut ?


"Kamu akan memanggil malaikatmu, Ibu."


Ingatlah selalu kasih sayang ibu, berdoalah untuknya dan cintailah dia sepanjang masa.

~* Nasehat seorang Ibu kepada putrinya menjelang pernikahan*~



Bismillaahirrahmaanirraahim...

Nasehat Ummu Mu'ashirah kepada putrinya yang di ramu dengan senyum dan air matanya;

``Wahai putriku,engkau akan menghadapi kehidupan baru.kehidupan yang didalamnya tidak ada tempat bagi ibumu,ayahmu,atau salah satu dari saudara-saudaramu.

Engkau akan menjadi teman bagi seorang laki-laki yang tidak ingin ada seorang pun yang menyertainya mengenai urusanmu,meskipun darinya ia berasal hingga mmeski itu dari daging dan darahmu.

``Wahai putriku,jadilah engkau baginya seorang istri dan juga seorang ibu.Buatlah ia merasa bahwa engkaulah segalanya dalam kehidupan dunianya.

Ingatlah selalu bahwa laki-laki adalah bocah besar.sedikit uacapan manis terkadang akan membuatnya bahagia...

``Janganlah membuatnya merasa bahwa pernikahannya denganmu telah menghalangimu dari keluargamu.karena perasaan perasaan seperti itu kadang akan membangkitkannya...

Sebab ia juga telah meninggalkan rumah orang tua dan keluarganya semata-mata karenamu.Akan tetapi,perbedaan antara dirimu dan dirinya adalah perbedaan antara perempuan dan laki-laki....

``Perempuan akan selalu merindukan keluarga dan rumahnya,tempat ia dilahirkan,tumbuh berkembang dan belajar.Namun,ia harus mulai mengadaptasikan kehidupannya bersama seorang laki-laki yang kini telah menjadi suaminya,pemeliharanya,serta ayah dari anak-anaknya.

♥ Inilah duniamu yang baru ♥

``Wahai puteriku,inilah kehidupanmu di masa kini dan masa yang akan datang. ini lah keluargamu,tempat kalian berdua _____

♥ engkau dan suamimu ♥ membangunnya bersama-sama.

Adapun kedua orang tuamu maka mereka adalah masa lalu.Namun,sungguh aku tidak memintamu untuk melupakan ayahmu,ibumu,maupun saudara-saudaramu.

Sebab,mereka sekali-kali tidak akan pernah melupakanmu.

Bagaimana bisa seorang ibu akan melupakanmu,sedang engkau adalah buah hatinya.

Akan tetapi,aku memintamu agar mencintai suamimu,hidup untuknya,serta berbahagia dengan kehidupanmu bersamanya....♥ ♥ ...

♥ Hidup itu indah ya shob ^_^

SUBHANALLAH....

semoga bermanfaat.. :)

sumber : page dari Ya Allah Ijinkan Hamba Menggelar Sajadah Bersamanya

Menjaga Kehormatan Muslimin Dengan Menjauhi Ghibah


Allah Ta’ala berfirman :

”Dan janganlah sebagian kalian mengghibah sebagian yang lain. Sukakah salah seorang dari kalian memakan daging saudaranya yang telah mati? Maka tentunya kalian tidak menyukainya (merasa jijik). Dan bertakwalah kalian kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al Hujurat : 12)

Al Hafidh Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsirnya : “Dalam ayat ini ada larangan berbuat ghibah. Dan Penetap Syariat telah menafsirkan ghibah tersebut sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Abu Daud[1] nomor 4874.”

Lalu Ibnu Katsir membawakan sanadnya sampai kepada Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, ia berkata : “Ditanyakan kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam apa yang dimaksud dengan ghibah. Beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menjawab :

[ “Engkau menyebut tentang saudaramu dengan apa yang ia tidak sukai.” Lalu ditanyakan lagi : “Apa pendapatmu, wahai Rasulullah, jika memang perkara yang kukatakan itu ada pada saudaraku?” Beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menjawab : “Jika memang perkara yang kau katakan itu ada padanya maka sungguh engkau telah mengghibahnya dan jika perkara yang yang kau katakan itu tidak ada padanya maka sungguh engkau telah berdusta.” (Tafsir Ibnu Katsir. Jilid 4 halaman 272. Darul Faiha dan Darus Salam) ]

Ghibah atau yang diistilahkan ngerumpi oleh kalangan awam merupakan santapan lezat bagi para wanita secara khusus, walaupun pria juga ada yang melakukannya. Namun wanita yang mendominasi dalam hal ini. Di mana ada wanita berkumpul maka jarang sekali majelis itu selamat dari membicarakan aib orang lain, apakah itu tetangganya, temannya, iparnya, atau bahkan suami dan orang tuanya sendiri tidak luput dari pembicaraan. Dan setan datang menghiasi, sehingga mereka yang hadir merasa lezat dalam berghibah dan lupa akan ancaman Allah dan Rasul-Nya terhadap perbuatan keji ini.

Yang menyedihkan, perbuatan ghibah ini tidak hanya menimpa orang yang buta atau tidak peduli dengan agamanya, bahkan juga menimpa Muslimah yang telah mengerti tentang hukum-hukum agama ini. Di tempat pengajian mereka mendapat wejangan untuk berhati-hati dari membicarakan aib saudaranya sesama Muslim, mereka diberi peringatan dan ancaman untuk menjaga lisan. Namun ketika keluar dari tempat pengajian mereka tenggelam dalam perbuatan ini dengan sadar ataupun tanpa sadar. Dan memang setan begitu bersemangat untuk menyesatkan anak Adam, Wallahul Musta’an.

Ghibah ini haram hukumnya dan sangat dicerca. Ibnu Katsir rahimahullah berkata : [ Karena itulah Allah Tabaraka Wa Ta’ala menyerupakan perbuatan ghibah ini dengan memakan daging manusia yang telah mati, sebagaimana Dia berfirman :

((“Sukakah salah seorang dari kalian memakan daging saudaranya yang telah mati? Maka tentunya kalian tidak menyukainya (merasa jijik).”))

Yakni sebagaimana kalian tidak suka/jijik untuk memakan bangkai manusia secara tabiat, maka hendaklah kalian juga tidak suka untuk melakukan ghibah secara syariat, karena hukuman perbuatan ghibah ini lebih berat. Allah menyebutkan permisalan seperti ini untuk menjauhkan manusia dari berbuat ghibah dan tahzir (peringatan) terhadap perbuatan ini. ]

Demikian Ibnu Katsir menerangkan. (Tafsir Ibnu Katsir 4/273)

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dalam khuthbah beliau di Mina ketika haji Wada’ mengingatkan akan tingginya kehormatan kaum Muslimin sehingga tidak layak untuk direndahkan dengan perbuatan ghibah. Beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian haram atas kalian seperti keharaman/kehormatan hari kalian ini (yakni hari Nahar tanggal 10 Dzulhijjah, -pent.), pada bulan kalian ini (yakni bulan Dzulhijjah sebagai salah satu bulan haram, -pent.).” (HR. Bukhari nomor 1739 dan Muslim nomor 1679 dari shahabat Abi Bakrah radhiallahu 'anhu)

Beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam juga bersabda :

“Cukuplah kejelekan bagi seseorang bila ia merendahkan saudaranya yang Muslim. Setiap Muslim terhadap Muslim yang lain haram darahnya, kehormatannya, dan hartanya.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya nomor 2564 dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu 'anhu)

Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma menceritakan bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam naik ke mimbar, lalu beliau berseru dengan suara yang lantang :

“Wahai orang-orang yang mengaku beriman dengan lisannya namun iman itu belum masuk (belum sampai) ke dalam hatinya, janganlah kalian menyakiti kaum Muslimin, jangan kalian mengghibah mereka dan mencari-cari aurat mereka (kejelekan mereka), karena sesungguhnya siapa yang mencari-cari aurat saudaranya yang Muslim niscaya Allah akan mencari-cari auratnya dan siapa yang dicari-cari auratnya oleh Allah maka Allah akan membeberkan aurat tersebut walaupun di tengah rumahnya.” (HR. Tirmidzi dan Abu Daud. Dishahihkan Asy Syaikh Muqbil Al Wadi’i dalam kitabnya Ash Shahihul Musnad Mimma Laisa fish Shahihain 1/493. Darul Haramain)

Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma suatu hari memandang ke Ka’bah lalu ia berkata : “Alangkah agungnya engkau dan alangkah besarnya kehormatanmu, namun orang Mukmin memiliki kehormatan yang lebih besar di sisi Allah dibanding dirimu.” (Tafsir Ibnu Katsir 4/274)

Ketika ‘Aisyah radhiallahu 'anha --istri yang paling Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam cintai-- menjelekkan madunya, maka beliau bersegera mengingkari perbuatan ‘Aisyah. Cinta beliau yang besar kepada sang istri tidak menghalangi beliau untuk menasehati dan menyalahkan perbuatannya yang menyimpang. Ketika itu ‘Aisyah berkata dengan rasa cemburunya :

“Wahai Rasulullah cukup bagimu Shafiyah, dia begini dan begitu.” Berkata salah seorang perawi hadits ini : “Yang ‘Aisyah maksudkan adalah Shafiyah itu pendek.” Maka mendengar hal itu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Sungguh engkau telah mengucapkan satu kata yang seandainya kata tersebut dicampurkan dengan air laut niscaya dapat mencemarinya.” (HR. Abu Daid dan Tirmidzi. Dishahihkan Asy Syaikh Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud nomor 4080. Shahih Sunan Tirmidzi nomor 2034. Al Misykat nomor 4853, 4857. Ghayatul Maram nomor 427)

Perkataan ghibah ini memang ringan diucapkan lisan namun berat dalam timbangan kejelekan. Kenapa tidak? Sementara ada siksa yang secara khusus diancamkan bagi pelaku ghibah, seperti yang diceritakan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam :

“Tatkala aku di-Mi’raj-kan (dibawa ke langit oleh Malaikat Jibril dalam peristiwa Isra’ Mi’raj, pent.), aku melewati suatu kaum (di neraka, pent.) yang mereka memiliki kuku-kuku dari tembaga. Dengan kuku-kuku tersebut mereka mencakari wajah dan dada mereka. Maka aku bertanya kepada Jibril : “Siapa mereka itu, wahai Jibril?” Jibril menjawab : “Mereka adalah orang-orang yang (ketika di dunia, pent.) memakan daging manusia (berbuat ghibah, pent.) dan melanggar kehormatan manusia.” (HR. Abu Daud. Dishahihkan Asy Syaikh Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud nomor 4082. As Shahihah nomor 533)

Asy Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali dalam kitabnya Bahjatun Nadhirin Syarah Riyadlush Shalihin berkata : [ Dan di antara cabang ayat ini (surat Al Hujurat ayat 12) adalah :

1)     Ghibah adalah penyebab aib seseorang ketika ia tidak hadir. Allah menyamakan orang yang tidak hadir dengan mayat karena ia tidak mampu untuk membela dirinya dan menolak pembicaraan tentang aibnya. Demikian pula mayat, dia tidak tahu bila dagingnya dimakan sebagaimana orang hidup dia tidak tahu ketika dia sedang ghaib (tidak berada di tempat) tentang orang yang mengghibahnya.

2)     Dalam ayat ini ada dalil tentang hujjah qiyasul aula dan keterangannya adalah :

Firman Allah Ta’ala : ((Fa karihtumuuhu)), di dalamnya ada dua sisi/makna :

Yang pertama : Kalian tidak suka/jijik untuk memakan bangkai. Maka hendaklah kalian tidak suka perbuatan ghibah.

Yang kedua : Kalian tidak suka manusia mengghibah kalian. Maka hendaklah kalian tidak suka untuk mengghibah manusia.

3)     Sebagaimana tidak pantas bagi seorang hamba untuk menyebut seseorang yang telah meninggal kecuali kebaikannya, maka demikian pula sepantasnya ia tidak menyebut saudaranya dari kalangan Muslimin kecuali kebaikan ketika saudaranya itu tidak hadir di hadapannya.

(Lihat Bahjatun Nadhirin Syarah Riyadlush Shalihin halaman 6-7. Dar Ibnul Jauzi)

Al Imam An Nawawi rahimahullah berkata dalam Al Adzkar : “Adapun ghibah adalah engkau menyebut seseorang dengan apa yang ia tidak sukai, sama saja apakah (ghibah itu menyangkut) tubuhnya, agamanya, dunianya, jiwanya, fisiknya, akhlaknya, hartanya, anaknya, orang tuanya, istrinya, pembantunya, budaknya, sorbannya, pakaiannya, cara jalannya, gerakannya, senyumnya, muka masamnya, atau yang selainnya dari perkara yang menyangkut diri orang tersebut. Sama saja apakah engkau menyebut tentang orang tersebut dengan lafadhmu (ucapan bibirmu) atau tulisanmu, atau melalui tanda dan isyarat matamu, atau dengan tanganmu, atau kepalamu atau yang semisalnya.

Adapun ghibah yang menyangkut badan seseorang misalnya engkau mengatakan : Si Fulan buta, atau pincang, picak, gundul, pendek, tinggi, hitam, kuning, dan lain-lain.

Ghibah yang berkaitan dengan agama, misalnya engkau berkata : Si Fulan itu fasik, atau pencuri, pengkhianat, dhalim, meremehkan shalat, bermudah-mudah dalam perkara najis, tidak berbuat baik pada orang tuanya, tidak memberikan zakat pada tempatnya, tidak menjauhi ghibah, dan lain-lain.

Ghibah yang menyangkut urusan dunia seseorang, misalnya engkau berkata : Si Fulan kurang adabnya, meremehkan manusia, tidak memandang ada orang yang punya hak terhadapnya, banyak bicara, banyak makan dan tidur, tidur bukan pada waktunya, duduk tidak pada tempatnya, dan lain-lain.

Ghibah yang bersangkutan dengan orang tuanya, misalnya engkau mengatakan : Si Fulan itu ayahnya fasik. Atau mengatakan dengan nada merendahkan : Si Fulan anaknya tukang sepatu, anaknya penjual kain, anaknya tukang kayu, anaknya pandai besi, anaknya orang sombong, dan lain-lain.

Ghibah yang menyangkut akhlak, misalnya engkau berkata : Si Fulan jelek akhlaknya, sombong, ingin dilihat bila beramal (riya), sifatnya tergesa-gesa, lemah hatinya, dan lain-lain.

Ghibah yang berkaitan dengan pakaian seseorang, misalnya engkau berkata : Si Fulan lebar kerah bajunya, bajunya kepanjangan, dan lain-lain.

Yang jelas, batasan ghibah adalah engkau menyebut seseorang dengan apa yang ia tidak sukai, apakah dengan ucapan bibirmu atau yang lainnya. Dan setiap perkara yang dapat dipahami oleh orang lain bahwa itu menyangkut kekurangan seorang Muslim maka hal tersebut merupakan ghibah yang diharamkan.

Dan termasuk ghibah adalah meniru-nirukan tingkah laku seseorang untuk menunjukkan kekurangan yang ada padanya, misalnya menirukan cara berjalannya dengan membungkuk dan sebagainya.

Termasuk pula dalam ghibah ini apabila seorang penulis kitab menyebutkan tentang seseorang dalam kitabnya, dengan mengatakan : “Telah berkata Fulan begini dan begitu … .” Yang ia inginkan dengan tulisannya tersebut untuk menjatuhkan si Fulan dan menjelekkannya.

Namun apabila tujuan penulisan tersebut untuk menjelaskan kesalahan si Fulan agar orang lain tidak mengikutinya, atau untuk menjelaskan kelemahannya dalam bidang ilmu agar manusia tidak tertipu dengannya dan tidak menerima pendapatnya, maka hal ini bukanlah termasuk ghibah. Bahkan ini merupakan nasihat yang wajib dan diberi pahala bagi pelakunya.

Demikian pula bila seorang penulis atau yang lainnya berkata : “Telah berkata satu kaum atau satu kelompok begini dan begitu, dan perkataan ini salah dan menyimpang … .” Maka ini bukan termasuk ghibah karena tidak langsung menyebut individu atau kelompok tertentu.

Termasuk ghibah bila dikatakan kepada seseorang : “Bagaimana keadaannya si Fulan?” Lalu orang yang ditanya menjawab : “Alhamdulillah, keadaan kita tidak seperti dia, semoga Allah menjauhkan kita dari kejelekan dan kurangnya rasa malu … .” Atau ucapan-ucapan lain yang dipahami maksud dibaliknya untuk menjelekkan orang lain, walaupun si pengucap berlagak memanjatkan doa. ]

(Demikian kami ringkaskan dari nukilan Asy Syaikh Salim Al Hilali dalam kitabnya Bahjatun Nadhirin 3/25-27)

Yang Dikecualikan Dari Ghibah

Al Imam Nawawi rahimahullah dalam kitabnya Riyadlus Shalihin menyebutkan beberapa perkara yang dikecualikan dari ghibah :

Pertama : Mengadukan kedhaliman seseorang kepada penguasa atau hakim atau orang yang memiliki kemampuan untuk menyelesaikan kedhaliman tersebut.

Kedua : Meminta tolong kepada orang yang memiliki kemampuan untuk merubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiat kepada kebenaran.

Ketiga : Mengadukan seseorang dalam rangka meminta fatwa kepada mufti, seperti perbuatan Hindun ketika mengadukan suaminya Abu Sufyan kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, ia berkata :

“Sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang yang kikir, ia tidak memberi nafkah yang mencukupi aku dan anakku, kecuali bila aku mengambilnya tanpa sepengetahuannya (apakah ini dibolehkan)?” Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menjawab :

“Ambillah sekedar dapat mencukupi dirimu dan anakmu dengan ma’ruf.” (HR. Bukhari dan Muslim nomor 1714 dari ‘Aisyah radhiallahu 'anha)

Keempat : Dalam rangka memperingatkan kaum Muslimin dari kejelekan dan menasehati mereka. Hal ini dari beberapa sisi, di antaranya :

a)     Men-jarh (menyebutkan kejelekan) para perawi hadits, misalnya dikatakan : Si Fulan rawi yang dusta, dlaif.

b)     Ketika diminta pendapat (diajak musyawarah) dalam memilih pasangan hidup, atau yang lainnya. Maka wajib bagi yang diajak musyawarah untuk tidak menyembunyikan kejelekan yang diketahuinya dengan meniatkan nasihat. Sebagaimana hal ini dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ketika dimintai pendapat oleh Fathimah bintu Qais radhiallahu 'anha dalam menentukan pilihan antara menerima pinangan Muawiyyah atau Abu Jahm radhiallahu 'anhuma. Maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam menasehatkan :

“Adapun Muawiyyah, maka dia seorang yang fakir, tidak memiliki harta. Sedangkan Abu Jahm dia tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya (yakni suka memukul wanita, pent.).” (HR. Bukhari dan Muslim nomor 1480)

c)      Ketika melihat ada seseorang yang sering bertamu ke rumah ahlul bid’ah atau orang fasik dan dikhawatirkan orang itu akan terpengaruh/kena getahnya, maka wajib menasehatinya dengan menjelaskan keadaan ahlul bid’ah atau orang fasik itu.

Kelima : Menyebutkan kejelekan orang yang terang-terangan berbuat maksiat atau bid’ah seperti minum khamar, merampas harta orang lain, dan lain-lain.

Keenam : Menyebut seseorang dengan gelaran/perkara yang dia terkenal/masyhur dengannya, misalnya : Si buta, si pendek, si hitam, dan lain-lain.

(Dinukil dengan ringkas dari Riyadlus Shalihin halaman 450-451. Cetakan Maktabatul Ma’arif)

Apakah Ghibah Termasuk Dosa Besar?

Al Imam Ash Shan’ani rahimahullah dalam kitabnya Subulus Salam berkata : “Ulama berselisih apakah ghibah ini termasuk dosa kecil atau dosa besar. Al Imam Al Qurthubi menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa ghibah termasuk dosa besar.”[2] (Lihat Subulus Salam 4/292. Cetakan Maktabah Al Irsyad. Shan’a). Dan pendapat bahwasanya ghibah adalah dosa besar inilah yang didukung oleh dalil sebagaimana diterangkan Al Imam Ash Shan’ani.

Termasuk dalil yang menunjukkan besarnya dosa ghibah adalah hadits yang diriwayatkan Abu Daud dalam Sunan-nya dari Said bin Zaid, ia berkata bahwasanya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :

“Sesungguhnya termasuk perbuatan riba yang paling puncak adalah melanggar kehormatan seorang Muslim tanpa haq.” (Hadits ini dishahihkan oleh Asy Syaikh Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud nomor 4081. Ash Shahihah 1433 dan 1871 dan dishahihkan pula oleh Asy Syaikh Muqbil bin Hadi dalam kitabnya Ash Shahihul Musnad)

Haramnya Mendengarkan Ghibah

Al Imam An Nawawi dalam Al Adzkar : “Ketahuilah sebagaimana ghibah itu diharamkan bagi pelakunya, diharamkan pula bagi pendengar untuk mendengarkannya. Maka wajib bagi orang yang mendengar seseorang ingin berbuat ghibah untuk melarangnya apabila ia tidak mengkhawatirkan terjadinya mudlarat.

Apabila ia khawatir terjadi mudlarat maka hendaknya ia mengingkarinya dengan hatinya dan meninggalkan majelis itu bila memungkinkan.

Apabila ia mampu untuk mengingkari dengan lisannya atau memotong pembicaraan ghibah dengan membelokkan pada pembicaraan lain, maka wajib baginya untuk melakukannya. Bila tidak ia lakukan maka sungguh ia telah bermaksiat.

Apabila ia berkata dengan lisannya : ‘Diam’ (berhentilah dari ghibah) sementara hatinya menginginkan ghibah itu diteruskan, maka yang demikian itu adalah nifak dan pelakunya berdosa. Seharusnya ketika lisan melarang, hati pun turut mengingkari.

Dan kapan seseorang terpaksa berada di majelis yang diucapkan ghibah padanya sementara ia tidak mampu untuk mengingkarinya atau ia mengingkari namun ditolak dan ia tidak mendapatkan jalan untuk meninggalkan majelis tersebut, maka haram baginya untuk bersengaja mencurahkan pendengaran dan perhatian pada ghibah yang diucapkan. Namun hendaknya ia berdzikir kepada Allah dengan lisan dan hatinya, atau dengan hatinya saja, atau ia memikirkan perkara lain agar ia tersibukkan dari mendengarkan ghibah tersebut. Setelah itu apabila ia menemukan jalan untuk keluar dari majelis itu sementara mereka yang hadir terus tenggelam dalam ghibah, maka wajib baginya untuk meninggalkan tempat itu.” (Dinukil dari Bahjatun Nadhirin 3/29-30)

Allah Ta’ala berfirman :

“Dan apabila mereka (Mukminin) mendengar ucapan laghwi, mereka berpaling darinya. (Al Qashshash : 55)

“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (Al Isra’ : 36)

Cara Bertaubat Dari Ghibah

Ada dua pendapat ulama dalam masalah ini dan keduanya merupakan riwayat dari Al Imam Ahmad, yaitu :

1)     Apakah cukup bertaubat dari ghibah dengan memintakan ampun kepada Allah untuk orang yang dighibah?

2)     Ataukah harus memberitahukannya dan meminta kehalalannya?

Yang benar adalah tidak perlu memberitahukan ghibah itu kepada yang dighibahi, tapi cukup memintakan ampun untuknya dan menyebutkan kebaikan-kebaikannya di tempat dia mengghibah saudaranya tersebut. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah dan selainnya. (Nashihati lin Nisa’ halaman 31. Cetakan Darul Haramain)

Demikian kami tutup pembahasan ghibah ini dengan mengajak kepada diri kami dan pembaca untuk selalu bertakwa kepada Allah dengan menjauhi perbuatan ghibah dan menyibukkan diri dengan aib/kekurangan yang ada pada diri sendiri. Dan barangsiapa sibuk dengan aibnya sendiri dan tidak mengorek aib orang lain bahkan ia menjunjung kehormatan orang lain, maka sungguh ia telah mengenakan salah satu dari perhiasan akhlak yang mulia. Wallahu A’lam Bis Shawwab.

Daftar Pustaka

1.      Bahjatun Nadhirin. Asy Syaikh Salim Al Hilali
2.      Fathul Bari. Al Hafidh Ibnu Hajar
3.      Nashihati lin Nisa’. Ummu Abdillah Al Wadi’iyyah bintu Asy Syaikh Muqbil Al Wadi’i
4.      Riyadlus Shalihin. Al Imam An Nawawi
5.      Subulus Salam. Al Imam Ash Shan’ani

[1] Ta’rif tentang ghibah ini disebutkan oleh Imam Muslim dalam hadits yang ia keluarkan pada kitab Shahih-nya (nomor 2589) dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Tahukah kalian apakah ghibah itu?” Para shahabat menjawab : “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Lalu beliau menyebutkan sebagaimana tertera dalam riwayat Abu Daud yang dibawakan oleh Ibnu Katsir di atas.

[2] Namun ijma’ yang disebutkan ini tidaklah benar karena Al Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan bahwa penulis kitab Ar Raudlah dan Al Imam Ar Rafi’i berpendapat bahwa ghibah termasuk dosa kecil. (Fathul Bari 10/480. Al Maktabah As Salafiyyah)

Oleh : Ummu Ishaq Al Atsariyyah