Begitu banyak kenyataan pahit disekitar kita yang harus kita hadapi.
Satu di antaranya adalah apa yang kita saksikan pada kebanyakan generasi Islam
sekarang ini, mereka amat jauh dari agamanya. Begitu lazimnya kita dapati
anak-anak Islam dengan lancar menyenandungkan lagu-lagu, bahkan nyanyian orang
dewasa. Dalam hal ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang aneh karena jauh
sebelumnya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah mengabarkannya.
Beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam pernah bersabda :
“Akan ada di kalangan ummatku suatu kaum yang menghalalkan zina,
sutera, khamar, dan alat musik.” (HR. Bukhari dan Abu Daud)[1]
Asy Syaikh Jamil Zainu berkata tentang Hadits ini : “Bahwasannya akan
ada suatu kaum di kalangan Muslimin yang mereka meyakini bahwa zina, memakai
sutera asli, minum khamar, dan musik itu halal, padahal haram.”[2]
Alangkah indahnya ketika kita menengok genarasi Salaf kita. Memang
tidaklah bisa generasi kita sekarang dibandingkan dengan mereka. Sungguh jauh
sekali kita dibanding mereka, tapi seharusnya kita berusaha meneladani mereka
sebagaimana Allah dan Rasul-Nya telah memerintahkan hal tersebut.
Wahai ayah dan bunda! Di sisimulah anak-anakmu menghabiskan sebagian
besar waktu mereka. Apa yang engkau berikan maka itulah yang akan mereka
terima. Maka berikanlah perkara-perkara yang baik kepada mereka, ajarkan dan
biasakanlah pada mereka sejak dini Kalamullah agar mereka terbiasa
melantunkannya dan timbul kecintaan pada hati-hati mereka dengan memahamkan
makna-maknanya.
Al Imam Al Hafidh As Suyuthi berkata : “Mengajarkan Al Qur’an pada
anak-anak merupakan salah satu dari pokok-pokok Islam agar mereka tumbuh di
atas fitrahnya dan agar cahaya hikmah lebih dahulu menancap pada hati-hati
mereka sebelum hawa nafsu dan sebelum hati-hati mereka dihitami (dipenuhi) oleh
kekotoran maksiat dan kesesatan”[3]
Generasi terbaik ummat ini telah memberikan teladan pada kita dalam
masalah ini. Betapa tingginya semangat mereka dalam mengarahkan perbuatan
anak-anak mereka agar selaras dengan Kitabullah. Kita bisa dapatkan para
shahabat telah mengajarkan Al Qur’an sejak dini pada anak-anak mereka dan semua
itu tidak lepas karena ittiba’ mereka kepada Allah dan Rasul-Nya.
“… akan tetapi jadilah kalian orang-orang rabbani karena apa yang
kalian ajarkan dari Al Kitab dan karena yang kalian pelajari darinya.” (Ali Imran
: 79)
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al Qur’an dan
mengajarkannya.” (HR. Bukhari dari Hadits Utsman radhiallahu 'anhu secara
marfu’)[4]
Dan sungguh begitu besar pahala yang akan didapatkan oleh kedua orang
tua yang mengajarkan Al Qur’an pada buah hatinya.
Mengajarkan Al Qur’an bukan sekedar membaca lafadh-lafadhnya dan
menghapalkannya, namun melalaikan makna-makna yang terkandung di dalamnya.
Bahkan yang seharusnya kita mengajarkannya dengan disertai keterangan yang
mencukupi. Permisalan indah hasil didikan generasi Salaf kita akibat terasahnya
kecerdasan dan kepekaan mereka terhadap kandungan makna Al Qur’an, nampak pada
apa yang ditunjukkan oleh Mush’ab bin Sa’ad bin Abi Waqqash. Dia berkata kepada
ayahnya, Sa’ad bin Abi Waqqash : “Wahai ayahku, bagaimana pendapat ayah tentang
firman Allah :
“Yakni orang-orang yang lalai dalam shalat mereka.” (Al Ma’un : 6)
Mush’ab melanjutkan : “Siapa di antara kita yang tidak lalai dan tidak
terlintas dalam benaknya perkara lain selain shalat sedikitpun?”
Maka sang ayah --Sa’ad bin Abi Waqqash-- menjawab : “Bukan begitu,
wahai anakku. Yang dimaksud lalai dalam firman Allah tersebut adalah
menyia-nyiakan waktunya.”[5]
Demikian juga kisah Abu Sulaiman Dawud bin Nashr Ath Tha’i. Ketika ia
berumur lima tahun ayahnya menyerahkannya pada seorang pengajar adab. Maka
pengajar tersebut memulai dengan mengajarkan Al Qur’an. Ketika sampai pada
surat Al Insan dan dia telah menghapalnya, suatu hari ibunya melihatnya sedang
menghadap dinding memikirkan sesuatu sambil jarinya menunjuk-nunjuk. Maka
ibunya berkata : “Bangkitlah wahai Dawud, bermainlah bersama anak-anak yang
lain!” Dawud tidak menyahut perintah ibunya hingga ketika sang ibu mendekapnya,
Dawud baru bereaksi, ia berkata : “Ada apa denganmu, wahai ibuku?”
Kata ibunya : “Di manakah pikiranmu, wahai anakku?”
“Bersama hamba-hamba Allah,” jawab Dawud.
“Di mana mereka?” Tanya sang ibu.
“Di Surga,” jawab Dawud singkat.
Ibunya bertanya lagi : “Apa yang sedang mereka perbuat?”
Mendengar pertanyaan itu Dawud membacakan surat Al Insan ayat 13
sampai 21 yang mengabarkan kenikmatan Surga :
“Di dalamnya mereka duduk bertelekan di atas dipan, mereka tidak
merasakan di dalamnya (teriknya) mentari dan tidak pula dingin yang menyengat.
Dan naungan (pohon-pohon Surga itu) dekat di atas mereka dan buah-buahannya
dimudahkan memetiknya semudah-mudahnya. Dan diedarkan pada mereka bejana-bejana
dari perak dan gelas-gelas yang bening laksana kaca, (yaitu) kaca-kaca (yang
terbuat) dari perak yang telah diukur mereka dengan sebaik-baiknya. Di dalam
Surga itu mereka diberi minum segelas (minuman) yang campurannya adalah
zanjabil. (Yang didatangkan dari) sebuah mata air Surga yang dinamakan Salsabil.
Dan mereka dikelilingi pelayan-pelayan muda yang tetap muda. Apabila engkau
melihat mereka, engkau akan mengira mereka adalah mutiara yang bertaburan. Dan
apabila engkau melihat di sana (Surga) niscaya engkau akan melihat berbagai
macam kenikmatan dan kerajaan yang besar. Mereka (penghuni Surga) memakai
pakaian sutera halus yang hijau dan sutera tebal dan dipakaikan kepada mereka
gelang yang terbuat dari perak, dan Rabb mereka memberikan kepada mereka
minuman yang bersih.” (Al Insan : 13-21)
Subhanallah! Di usia mereka yang masih belia akal-akal mereka telah
terasah untuk memikirkan ayat-ayat Allah, men-tadabburi-nya. Fitrah yang Allah
berikan pada mereka terjaga bahkan terkuatkan dengannya.
Wahai ayah dan bunda, alangkah baiknya bila yang pertama kali diperdengarkan
kepada anak-anak kita adalah kalimat-kalimat Allah dan memahamkan mereka
sehingga mereka terbiasa mendengar dan mengucapkannya, dengan begitu hati-hati
mereka menjadi cinta terhadap Al Qur’an dan mereka tumbuh di atasnya.
Membiasakan anak untuk menghapal Al Qur’an sejak dini juga merupakan suatu
pendidikan yang baik.
Sebagai penggugah diri kita dari terlenanya kita dengan kondisi
masyarakat Islam pada hari ini, adalah apa yang terjadi pada ulama Salaf kita.
Al Imam Syafi’i berkata : “Aku telah menghapal Al Qur’an pada umur 7 tahun dan
aku hapal Al Muwaththa’ (karya Imam Malik) pada umur 10 tahun.”
Mungkin kita bertanya-tanya bagaimana bisa di usia mereka yang masih
belia telah dapat menghapal Al Qur’an. Jawaban yang pasti adalah karena keutamaan
yang diberikan Allah pada mereka :
“Demikianlah keutamaan dari Allah, diberikannya kepada siapa yang Dia
kehendaki dan Allah-lah yang memiliki keutamaan yang besar.” (Al Jumuah : 4)
Juga karena terjaganya mereka dari perbuatan-perbuatan maksiat dan
karena kedua orang tua mereka menyadari betul amanah yang diberikan Allah dan
ini nampak dari semangat orang tua mereka dengan menyerahkan mereka kepada para
pengajar adab dan para ulama, dan membimbing, serta mengarahkan mereka ketika
berada di rumah.
Jika kita memperhatikan ayat-ayat Allah, kita akan dapatkan bahwa
surat Makkiyyah umumnya merupakan surat-surat yang pendek dan ini sangatlah
baik sebagai permulaan untuk diajarkan pada anak karena sangat mudah dihapal
dan kuat pengaruhnya pada diri anak. Kita bisa lihat pada juz 30, sebagai misal
surat An Nas. Di dalamnya terkandung makna yang besar tentang tauhid rububiyyah
dan tauhid uluhiyyah.
Abu Ashim berkata : “Aku menyerahkan anakku pada Ibnu Juraij dan
ketika itu usia anakku kurang dari tiga tahun. Maka Ibnu Juraij mengajarinya Al
Qur’an dan Hadits.” Kemudian Abu Ashim melanjutkan : “Tidak mengapa mengajari
anak Al Qur’an dan Hadits pada usia dini.”
Abu Muhammad Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman Al Ashbahani
berkata : “Aku telah menghapal Al Qur’an pada umur 5 tahun. Pada usia 4 tahun
aku dibawa ke majelisnya Abu Bakar Al Muqri’. Sebagian yang hadir dalam majelis
tersebut berkata : ((Jangan kalian mendengar dari anak ini, karena dia terlalu
kecil)). Abu Bakar Al Muqri’ berkata : ((Baca surat At Takwir)). Maka akupun
membacanya tanpa ada kesalahan. Sebagian yang hadir berkata : ((Baca surat Al
Mursalat)). Maka akupun membacanya tanpa ada kesalahan. Maka Al Muqri’ berkata
: ((Kalian dengarkan darinya)).”[6]
Tentu ada pada hati kita harapan terhadap buah hati kita agar bisa
seperti mereka. Kepada Allah-lah kita sandarkan segala harapan kita. Semoga
Allah permudah jalan bagi kita untuk mendidik generasi penerus kita. Amin … .
Wallahu A’lam Bishshawwab.
Daftar Pustaka :
Kaifa Nurabbi Auladana. Asy Syaikh Jamil Zainu.
Manhajut Tarbiyatun Nabawiyyah lith Thifl. Muhammad Nur Suwaid.
Tarbiyatul Abna’. Asy Syaikh Mushthafa Al ‘Adawi.
[1] HR. Bukhari dalam Shahih-nya nomor 5590 dan Abu Daud dalam
Sunan-nya nomor 3407 --Lihat Shahih Sunan Abi Daud--. Dishahihkan oleh Asy
Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadhi’i dalam Ash Shahihul Musnad min Dalailin
Nubuwwah halaman 511-512. (Red.)
[2] Lihat Kaifa Nurabbi Auladana. Halaman 47 (Red.)
[3] Lihat Manhajut Tarbiyatun Nabawiyyah lith Tifl. Halaman 104 (Red.)
[4] HR. Bukhari dalam Shahih-nya nomor 5027 (Red.)
[5] Riwayat Abu Ya’la dalam Musnad-nya 2/63. Lihat Manhaj Tarbiyah
lith Thifl. Halaman 108 (Red.)
[6] Manhaj Tarbiyatun Nabawiyyah lith Thifl halaman 112-113, dinukil
dari Al Kifayah fi Ilmir Riwayah oleh Al Khathib Al Baghdadi., halaman 116-117,
cetakan Mesir (Red.)
Oleh : Ummu Ishaq Al Atsariyyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentar anda,, ^^