Allah Ta’ala berfirman :
”Dan janganlah sebagian kalian mengghibah sebagian yang lain. Sukakah
salah seorang dari kalian memakan daging saudaranya yang telah mati? Maka
tentunya kalian tidak menyukainya (merasa jijik). Dan bertakwalah kalian kepada
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al Hujurat :
12)
Al Hafidh Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsirnya : “Dalam
ayat ini ada larangan berbuat ghibah. Dan Penetap Syariat telah menafsirkan
ghibah tersebut sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Abu
Daud[1] nomor 4874.”
Lalu Ibnu Katsir membawakan sanadnya sampai kepada Abu Hurairah
radhiallahu 'anhu, ia berkata : “Ditanyakan kepada Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam apa yang dimaksud dengan ghibah. Beliau Shallallahu 'Alaihi
Wa Sallam menjawab :
[ “Engkau menyebut tentang saudaramu dengan apa yang ia tidak sukai.”
Lalu ditanyakan lagi : “Apa pendapatmu, wahai Rasulullah, jika memang perkara
yang kukatakan itu ada pada saudaraku?” Beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam
menjawab : “Jika memang perkara yang kau katakan itu ada padanya maka sungguh
engkau telah mengghibahnya dan jika perkara yang yang kau katakan itu tidak ada
padanya maka sungguh engkau telah berdusta.” (Tafsir Ibnu Katsir. Jilid 4
halaman 272. Darul Faiha dan Darus Salam) ]
Ghibah atau yang diistilahkan ngerumpi oleh kalangan awam merupakan
santapan lezat bagi para wanita secara khusus, walaupun pria juga ada yang
melakukannya. Namun wanita yang mendominasi dalam hal ini. Di mana ada wanita
berkumpul maka jarang sekali majelis itu selamat dari membicarakan aib orang
lain, apakah itu tetangganya, temannya, iparnya, atau bahkan suami dan orang
tuanya sendiri tidak luput dari pembicaraan. Dan setan datang menghiasi,
sehingga mereka yang hadir merasa lezat dalam berghibah dan lupa akan ancaman
Allah dan Rasul-Nya terhadap perbuatan keji ini.
Yang menyedihkan, perbuatan ghibah ini tidak hanya menimpa orang yang
buta atau tidak peduli dengan agamanya, bahkan juga menimpa Muslimah yang telah
mengerti tentang hukum-hukum agama ini. Di tempat pengajian mereka mendapat
wejangan untuk berhati-hati dari membicarakan aib saudaranya sesama Muslim,
mereka diberi peringatan dan ancaman untuk menjaga lisan. Namun ketika keluar
dari tempat pengajian mereka tenggelam dalam perbuatan ini dengan sadar ataupun
tanpa sadar. Dan memang setan begitu bersemangat untuk menyesatkan anak Adam,
Wallahul Musta’an.
Ghibah ini haram hukumnya dan sangat dicerca. Ibnu Katsir rahimahullah
berkata : [ Karena itulah Allah Tabaraka Wa Ta’ala menyerupakan perbuatan
ghibah ini dengan memakan daging manusia yang telah mati, sebagaimana Dia
berfirman :
((“Sukakah salah seorang dari kalian memakan daging saudaranya yang
telah mati? Maka tentunya kalian tidak menyukainya (merasa jijik).”))
Yakni sebagaimana kalian tidak suka/jijik untuk memakan bangkai
manusia secara tabiat, maka hendaklah kalian juga tidak suka untuk melakukan
ghibah secara syariat, karena hukuman perbuatan ghibah ini lebih berat. Allah
menyebutkan permisalan seperti ini untuk menjauhkan manusia dari berbuat ghibah
dan tahzir (peringatan) terhadap perbuatan ini. ]
Demikian Ibnu Katsir menerangkan. (Tafsir Ibnu Katsir 4/273)
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dalam khuthbah beliau di Mina
ketika haji Wada’ mengingatkan akan tingginya kehormatan kaum Muslimin sehingga
tidak layak untuk direndahkan dengan perbuatan ghibah. Beliau Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian haram
atas kalian seperti keharaman/kehormatan hari kalian ini (yakni hari Nahar
tanggal 10 Dzulhijjah, -pent.), pada bulan kalian ini (yakni bulan Dzulhijjah
sebagai salah satu bulan haram, -pent.).” (HR. Bukhari nomor 1739 dan Muslim
nomor 1679 dari shahabat Abi Bakrah radhiallahu 'anhu)
Beliau Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam juga bersabda :
“Cukuplah kejelekan bagi seseorang bila ia merendahkan saudaranya yang
Muslim. Setiap Muslim terhadap Muslim yang lain haram darahnya, kehormatannya,
dan hartanya.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya nomor 2564 dari shahabat Abu Hurairah
radhiallahu 'anhu)
Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma menceritakan bahwasanya Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam naik ke mimbar, lalu beliau berseru dengan suara
yang lantang :
“Wahai orang-orang yang mengaku beriman dengan lisannya namun iman itu
belum masuk (belum sampai) ke dalam hatinya, janganlah kalian menyakiti kaum
Muslimin, jangan kalian mengghibah mereka dan mencari-cari aurat mereka
(kejelekan mereka), karena sesungguhnya siapa yang mencari-cari aurat
saudaranya yang Muslim niscaya Allah akan mencari-cari auratnya dan siapa yang
dicari-cari auratnya oleh Allah maka Allah akan membeberkan aurat tersebut
walaupun di tengah rumahnya.” (HR. Tirmidzi dan Abu Daud. Dishahihkan Asy
Syaikh Muqbil Al Wadi’i dalam kitabnya Ash Shahihul Musnad Mimma Laisa fish
Shahihain 1/493. Darul Haramain)
Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma suatu hari memandang ke Ka’bah lalu ia
berkata : “Alangkah agungnya engkau dan alangkah besarnya kehormatanmu, namun
orang Mukmin memiliki kehormatan yang lebih besar di sisi Allah dibanding
dirimu.” (Tafsir Ibnu Katsir 4/274)
Ketika ‘Aisyah radhiallahu 'anha --istri yang paling Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam cintai-- menjelekkan madunya, maka beliau bersegera
mengingkari perbuatan ‘Aisyah. Cinta beliau yang besar kepada sang istri tidak
menghalangi beliau untuk menasehati dan menyalahkan perbuatannya yang
menyimpang. Ketika itu ‘Aisyah berkata dengan rasa cemburunya :
“Wahai Rasulullah cukup bagimu Shafiyah, dia begini dan begitu.”
Berkata salah seorang perawi hadits ini : “Yang ‘Aisyah maksudkan adalah
Shafiyah itu pendek.” Maka mendengar hal itu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam bersabda :
“Sungguh engkau telah mengucapkan satu kata yang seandainya kata
tersebut dicampurkan dengan air laut niscaya dapat mencemarinya.” (HR. Abu Daid
dan Tirmidzi. Dishahihkan Asy Syaikh Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud nomor
4080. Shahih Sunan Tirmidzi nomor 2034. Al Misykat nomor 4853, 4857. Ghayatul
Maram nomor 427)
Perkataan ghibah ini memang ringan diucapkan lisan namun berat dalam
timbangan kejelekan. Kenapa tidak? Sementara ada siksa yang secara khusus
diancamkan bagi pelaku ghibah, seperti yang diceritakan oleh Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam :
“Tatkala aku di-Mi’raj-kan (dibawa ke langit oleh Malaikat Jibril
dalam peristiwa Isra’ Mi’raj, pent.), aku melewati suatu kaum (di neraka,
pent.) yang mereka memiliki kuku-kuku dari tembaga. Dengan kuku-kuku tersebut
mereka mencakari wajah dan dada mereka. Maka aku bertanya kepada Jibril :
“Siapa mereka itu, wahai Jibril?” Jibril menjawab : “Mereka adalah orang-orang
yang (ketika di dunia, pent.) memakan daging manusia (berbuat ghibah, pent.)
dan melanggar kehormatan manusia.” (HR. Abu Daud. Dishahihkan Asy Syaikh Albani
dalam Shahih Sunan Abi Daud nomor 4082. As Shahihah nomor 533)
Asy Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali dalam kitabnya Bahjatun Nadhirin
Syarah Riyadlush Shalihin berkata : [ Dan di antara cabang ayat ini (surat Al
Hujurat ayat 12) adalah :
1) Ghibah adalah penyebab
aib seseorang ketika ia tidak hadir. Allah menyamakan orang yang tidak hadir
dengan mayat karena ia tidak mampu untuk membela dirinya dan menolak
pembicaraan tentang aibnya. Demikian pula mayat, dia tidak tahu bila dagingnya
dimakan sebagaimana orang hidup dia tidak tahu ketika dia sedang ghaib (tidak
berada di tempat) tentang orang yang mengghibahnya.
2) Dalam ayat ini ada dalil
tentang hujjah qiyasul aula dan keterangannya adalah :
Firman Allah Ta’ala : ((Fa karihtumuuhu)), di dalamnya ada dua
sisi/makna :
Yang pertama : Kalian tidak suka/jijik untuk memakan bangkai. Maka
hendaklah kalian tidak suka perbuatan ghibah.
Yang kedua : Kalian tidak suka manusia mengghibah kalian. Maka
hendaklah kalian tidak suka untuk mengghibah manusia.
3) Sebagaimana tidak pantas
bagi seorang hamba untuk menyebut seseorang yang telah meninggal kecuali
kebaikannya, maka demikian pula sepantasnya ia tidak menyebut saudaranya dari
kalangan Muslimin kecuali kebaikan ketika saudaranya itu tidak hadir di
hadapannya.
(Lihat Bahjatun Nadhirin Syarah Riyadlush Shalihin halaman 6-7. Dar
Ibnul Jauzi)
Al Imam An Nawawi rahimahullah berkata dalam Al Adzkar : “Adapun
ghibah adalah engkau menyebut seseorang dengan apa yang ia tidak sukai, sama
saja apakah (ghibah itu menyangkut) tubuhnya, agamanya, dunianya, jiwanya,
fisiknya, akhlaknya, hartanya, anaknya, orang tuanya, istrinya, pembantunya,
budaknya, sorbannya, pakaiannya, cara jalannya, gerakannya, senyumnya, muka
masamnya, atau yang selainnya dari perkara yang menyangkut diri orang tersebut.
Sama saja apakah engkau menyebut tentang orang tersebut dengan lafadhmu (ucapan
bibirmu) atau tulisanmu, atau melalui tanda dan isyarat matamu, atau dengan
tanganmu, atau kepalamu atau yang semisalnya.
Adapun ghibah yang menyangkut badan seseorang misalnya engkau
mengatakan : Si Fulan buta, atau pincang, picak, gundul, pendek, tinggi, hitam,
kuning, dan lain-lain.
Ghibah yang berkaitan dengan agama, misalnya engkau berkata : Si Fulan
itu fasik, atau pencuri, pengkhianat, dhalim, meremehkan shalat, bermudah-mudah
dalam perkara najis, tidak berbuat baik pada orang tuanya, tidak memberikan
zakat pada tempatnya, tidak menjauhi ghibah, dan lain-lain.
Ghibah yang menyangkut urusan dunia seseorang, misalnya engkau berkata
: Si Fulan kurang adabnya, meremehkan manusia, tidak memandang ada orang yang
punya hak terhadapnya, banyak bicara, banyak makan dan tidur, tidur bukan pada
waktunya, duduk tidak pada tempatnya, dan lain-lain.
Ghibah yang bersangkutan dengan orang tuanya, misalnya engkau
mengatakan : Si Fulan itu ayahnya fasik. Atau mengatakan dengan nada
merendahkan : Si Fulan anaknya tukang sepatu, anaknya penjual kain, anaknya
tukang kayu, anaknya pandai besi, anaknya orang sombong, dan lain-lain.
Ghibah yang menyangkut akhlak, misalnya engkau berkata : Si Fulan
jelek akhlaknya, sombong, ingin dilihat bila beramal (riya), sifatnya
tergesa-gesa, lemah hatinya, dan lain-lain.
Ghibah yang berkaitan dengan pakaian seseorang, misalnya engkau
berkata : Si Fulan lebar kerah bajunya, bajunya kepanjangan, dan lain-lain.
Yang jelas, batasan ghibah adalah engkau menyebut seseorang dengan apa
yang ia tidak sukai, apakah dengan ucapan bibirmu atau yang lainnya. Dan setiap
perkara yang dapat dipahami oleh orang lain bahwa itu menyangkut kekurangan
seorang Muslim maka hal tersebut merupakan ghibah yang diharamkan.
Dan termasuk ghibah adalah meniru-nirukan tingkah laku seseorang untuk
menunjukkan kekurangan yang ada padanya, misalnya menirukan cara berjalannya
dengan membungkuk dan sebagainya.
Termasuk pula dalam ghibah ini apabila seorang penulis kitab
menyebutkan tentang seseorang dalam kitabnya, dengan mengatakan : “Telah
berkata Fulan begini dan begitu … .” Yang ia inginkan dengan tulisannya
tersebut untuk menjatuhkan si Fulan dan menjelekkannya.
Namun apabila tujuan penulisan tersebut untuk menjelaskan kesalahan si
Fulan agar orang lain tidak mengikutinya, atau untuk menjelaskan kelemahannya
dalam bidang ilmu agar manusia tidak tertipu dengannya dan tidak menerima
pendapatnya, maka hal ini bukanlah termasuk ghibah. Bahkan ini merupakan
nasihat yang wajib dan diberi pahala bagi pelakunya.
Demikian pula bila seorang penulis atau yang lainnya berkata : “Telah
berkata satu kaum atau satu kelompok begini dan begitu, dan perkataan ini salah
dan menyimpang … .” Maka ini bukan termasuk ghibah karena tidak langsung
menyebut individu atau kelompok tertentu.
Termasuk ghibah bila dikatakan kepada seseorang : “Bagaimana
keadaannya si Fulan?” Lalu orang yang ditanya menjawab : “Alhamdulillah,
keadaan kita tidak seperti dia, semoga Allah menjauhkan kita dari kejelekan dan
kurangnya rasa malu … .” Atau ucapan-ucapan lain yang dipahami maksud
dibaliknya untuk menjelekkan orang lain, walaupun si pengucap berlagak
memanjatkan doa. ]
(Demikian kami ringkaskan dari nukilan Asy Syaikh Salim Al Hilali
dalam kitabnya Bahjatun Nadhirin 3/25-27)
Yang Dikecualikan Dari Ghibah
Al Imam Nawawi rahimahullah dalam kitabnya Riyadlus Shalihin
menyebutkan beberapa perkara yang dikecualikan dari ghibah :
Pertama : Mengadukan kedhaliman seseorang kepada penguasa atau hakim
atau orang yang memiliki kemampuan untuk menyelesaikan kedhaliman tersebut.
Kedua : Meminta tolong kepada orang yang memiliki kemampuan untuk
merubah kemungkaran dan mengembalikan pelaku maksiat kepada kebenaran.
Ketiga : Mengadukan seseorang dalam rangka meminta fatwa kepada mufti,
seperti perbuatan Hindun ketika mengadukan suaminya Abu Sufyan kepada
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, ia berkata :
“Sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang yang kikir, ia tidak memberi
nafkah yang mencukupi aku dan anakku, kecuali bila aku mengambilnya tanpa
sepengetahuannya (apakah ini dibolehkan)?” Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa
Sallam menjawab :
“Ambillah sekedar dapat mencukupi dirimu dan anakmu dengan ma’ruf.”
(HR. Bukhari dan Muslim nomor 1714 dari ‘Aisyah radhiallahu 'anha)
Keempat : Dalam rangka memperingatkan kaum Muslimin dari kejelekan dan
menasehati mereka. Hal ini dari beberapa sisi, di antaranya :
a) Men-jarh (menyebutkan
kejelekan) para perawi hadits, misalnya dikatakan : Si Fulan rawi yang dusta,
dlaif.
b) Ketika diminta pendapat
(diajak musyawarah) dalam memilih pasangan hidup, atau yang lainnya. Maka wajib
bagi yang diajak musyawarah untuk tidak menyembunyikan kejelekan yang
diketahuinya dengan meniatkan nasihat. Sebagaimana hal ini dicontohkan oleh
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ketika dimintai pendapat oleh Fathimah
bintu Qais radhiallahu 'anha dalam menentukan pilihan antara menerima pinangan
Muawiyyah atau Abu Jahm radhiallahu 'anhuma. Maka Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wa Sallam menasehatkan :
“Adapun Muawiyyah, maka dia seorang yang fakir, tidak memiliki harta.
Sedangkan Abu Jahm dia tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya (yakni
suka memukul wanita, pent.).” (HR. Bukhari dan Muslim nomor 1480)
c) Ketika melihat ada
seseorang yang sering bertamu ke rumah ahlul bid’ah atau orang fasik dan
dikhawatirkan orang itu akan terpengaruh/kena getahnya, maka wajib
menasehatinya dengan menjelaskan keadaan ahlul bid’ah atau orang fasik itu.
Kelima : Menyebutkan kejelekan orang yang terang-terangan berbuat
maksiat atau bid’ah seperti minum khamar, merampas harta orang lain, dan
lain-lain.
Keenam : Menyebut seseorang dengan gelaran/perkara yang dia
terkenal/masyhur dengannya, misalnya : Si buta, si pendek, si hitam, dan
lain-lain.
(Dinukil dengan ringkas dari Riyadlus Shalihin halaman 450-451.
Cetakan Maktabatul Ma’arif)
Apakah Ghibah Termasuk Dosa Besar?
Al Imam Ash Shan’ani rahimahullah dalam kitabnya Subulus Salam berkata
: “Ulama berselisih apakah ghibah ini termasuk dosa kecil atau dosa besar. Al
Imam Al Qurthubi menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama) bahwa ghibah termasuk
dosa besar.”[2] (Lihat Subulus Salam 4/292. Cetakan Maktabah Al Irsyad.
Shan’a). Dan pendapat bahwasanya ghibah adalah dosa besar inilah yang didukung
oleh dalil sebagaimana diterangkan Al Imam Ash Shan’ani.
Termasuk dalil yang menunjukkan besarnya dosa ghibah adalah hadits
yang diriwayatkan Abu Daud dalam Sunan-nya dari Said bin Zaid, ia berkata
bahwasanya Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Sesungguhnya termasuk perbuatan riba yang paling puncak adalah
melanggar kehormatan seorang Muslim tanpa haq.” (Hadits ini dishahihkan oleh
Asy Syaikh Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud nomor 4081. Ash Shahihah 1433 dan
1871 dan dishahihkan pula oleh Asy Syaikh Muqbil bin Hadi dalam kitabnya Ash
Shahihul Musnad)
Haramnya Mendengarkan Ghibah
Al Imam An Nawawi dalam Al Adzkar : “Ketahuilah sebagaimana ghibah itu
diharamkan bagi pelakunya, diharamkan pula bagi pendengar untuk
mendengarkannya. Maka wajib bagi orang yang mendengar seseorang ingin berbuat
ghibah untuk melarangnya apabila ia tidak mengkhawatirkan terjadinya mudlarat.
Apabila ia khawatir terjadi mudlarat maka hendaknya ia mengingkarinya
dengan hatinya dan meninggalkan majelis itu bila memungkinkan.
Apabila ia mampu untuk mengingkari dengan lisannya atau memotong
pembicaraan ghibah dengan membelokkan pada pembicaraan lain, maka wajib baginya
untuk melakukannya. Bila tidak ia lakukan maka sungguh ia telah bermaksiat.
Apabila ia berkata dengan lisannya : ‘Diam’ (berhentilah dari ghibah)
sementara hatinya menginginkan ghibah itu diteruskan, maka yang demikian itu
adalah nifak dan pelakunya berdosa. Seharusnya ketika lisan melarang, hati pun
turut mengingkari.
Dan kapan seseorang terpaksa berada di majelis yang diucapkan ghibah
padanya sementara ia tidak mampu untuk mengingkarinya atau ia mengingkari namun
ditolak dan ia tidak mendapatkan jalan untuk meninggalkan majelis tersebut,
maka haram baginya untuk bersengaja mencurahkan pendengaran dan perhatian pada
ghibah yang diucapkan. Namun hendaknya ia berdzikir kepada Allah dengan lisan
dan hatinya, atau dengan hatinya saja, atau ia memikirkan perkara lain agar ia
tersibukkan dari mendengarkan ghibah tersebut. Setelah itu apabila ia menemukan
jalan untuk keluar dari majelis itu sementara mereka yang hadir terus tenggelam
dalam ghibah, maka wajib baginya untuk meninggalkan tempat itu.” (Dinukil dari
Bahjatun Nadhirin 3/29-30)
Allah Ta’ala berfirman :
“Dan apabila mereka (Mukminin) mendengar ucapan laghwi, mereka
berpaling darinya. (Al Qashshash : 55)
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan
diminta pertanggungjawabannya.” (Al Isra’ : 36)
Cara Bertaubat Dari Ghibah
Ada dua pendapat ulama dalam masalah ini dan keduanya merupakan
riwayat dari Al Imam Ahmad, yaitu :
1) Apakah cukup bertaubat
dari ghibah dengan memintakan ampun kepada Allah untuk orang yang dighibah?
2) Ataukah harus
memberitahukannya dan meminta kehalalannya?
Yang benar adalah tidak perlu memberitahukan ghibah itu kepada yang
dighibahi, tapi cukup memintakan ampun untuknya dan menyebutkan
kebaikan-kebaikannya di tempat dia mengghibah saudaranya tersebut. Pendapat
inilah yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah dan selainnya. (Nashihati
lin Nisa’ halaman 31. Cetakan Darul Haramain)
Demikian kami tutup pembahasan ghibah ini dengan mengajak kepada diri
kami dan pembaca untuk selalu bertakwa kepada Allah dengan menjauhi perbuatan
ghibah dan menyibukkan diri dengan aib/kekurangan yang ada pada diri sendiri.
Dan barangsiapa sibuk dengan aibnya sendiri dan tidak mengorek aib orang lain
bahkan ia menjunjung kehormatan orang lain, maka sungguh ia telah mengenakan
salah satu dari perhiasan akhlak yang mulia. Wallahu A’lam Bis Shawwab.
Daftar Pustaka
1. Bahjatun Nadhirin. Asy
Syaikh Salim Al Hilali
2. Fathul Bari. Al Hafidh
Ibnu Hajar
3. Nashihati lin Nisa’.
Ummu Abdillah Al Wadi’iyyah bintu Asy Syaikh Muqbil Al Wadi’i
4. Riyadlus Shalihin. Al
Imam An Nawawi
5. Subulus Salam. Al Imam
Ash Shan’ani
[1] Ta’rif tentang ghibah ini disebutkan oleh Imam Muslim dalam hadits
yang ia keluarkan pada kitab Shahih-nya (nomor 2589) dari shahabat Abu Hurairah
radhiallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda
: “Tahukah kalian apakah ghibah itu?” Para shahabat menjawab : “Allah dan
Rasul-Nya yang lebih tahu.” Lalu beliau menyebutkan sebagaimana tertera dalam
riwayat Abu Daud yang dibawakan oleh Ibnu Katsir di atas.
[2] Namun ijma’ yang disebutkan ini tidaklah benar karena Al Hafidh
Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan bahwa penulis kitab Ar Raudlah dan Al Imam
Ar Rafi’i berpendapat bahwa ghibah termasuk dosa kecil. (Fathul Bari 10/480. Al
Maktabah As Salafiyyah)
Oleh : Ummu Ishaq Al Atsariyyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas komentar anda,, ^^